Tradisi Ciuman Massal di Bali, Apa Tujuannya?

Ilustrasi ciuman
Sumber :
  • Pixabay

Sejarah Omed-Omedan sarat dengan legenda yang menambah daya magisnya. Konon, pada suatu masa di abad ke-17, seorang raja dari Puri Oka yang sedang sakit parah terganggu oleh suara riuh-rendah pemuda desa yang bermain tarik-menarik di jalan utama. 

Raja, yang kesalnya memuncak, keluar dari istana untuk menghentikan keributan tersebut. Namun, alih-alih marah, pemandangan kegembiraan itu justru menyembuhkan penyakitnya secara ajaib. 

Sejak saat itu, raja memerintahkan agar permainan tersebut dijadikan tradisi tahunan untuk menjaga keseimbangan energi positif dan negatif di desa. Legenda ini tidak hanya menjadi cerita rakyat, tetapi juga dasar filosofis ritual: "omed" melambangkan tarikan antara kekuatan baik dan buruk, mirip dengan konsep push-pull dalam filsafat Timur. 

Meskipun asal-usul pastinya sulit dilacak, catatan kolonial Belanda menyebutkan upaya pelarangan ritual ini pada awal abad ke-20 karena dianggap bertentangan dengan norma kesopanan Eropa.

Namun, masyarakat Bali tetap mempertahankannya, membuktikan ketangguhan budaya lokal terhadap pengaruh asing.

Pelaksanaan Omed-Omedan adalah puncak dari persiapan yang matang dan sarat makna spiritual. Acara dimulai dengan doa massal di Pura Banjar Kaja, di mana para peserta—pemuda dan pemudi usia 17 hingga 30 tahun yang belum menikah—mengenakan pakaian adat lengkap: kain songket untuk pria dan kebaya sutra untuk wanita. 

Setelah itu, tarian Barong Bangkung yang sakral digelar di tengah jalan, diiringi gamelan yang menggema, untuk mengusir roh jahat dan membuka ruang bagi energi positif. Peserta dibagi menjadi dua kelompok: teruna (pria) dan teruni (wanita), yang berbaris saling berhadapan di Jalan Raya Sesetan.