Resign di Usia 30, Bijak atau Nekat di Tengah Kondisi Perekonomian Saat ini?
- Freepik
Lifestyle –Banyak orang memasuki usia 30 dengan perasaan campur aduk terhadap pekerjaan mereka. Di satu sisi, sudah punya pengalaman, penghasilan tetap, bahkan mungkin posisi yang cukup stabil. Namun, di sisi lain, muncul rasa jenuh, tidak berkembang, atau keinginan kuat mengejar karier yang lebih sesuai dengan impian.
Masalahnya, kondisi dunia kerja sekarang penuh ketidakpastian. Ancaman resesi, persaingan ketat, dan perkembangan teknologi membuat banyak orang ragu. Pertanyaan pun muncul apakah resign di usia 30 itu langkah bijak, atau justru nekat?
Pertama mari bahas mengapa banyak orang takut resign di usia 30 tahun saat ini. Rasa takut saat mempertimbangkan resign di usia 30 sangat wajar. Ada beberapa alasannya:
- Takut kehilangan penghasilan tetap. Banyak yang sudah punya cicilan rumah, tanggungan keluarga, atau tabungan masa depan.
- Khawatir sulit mendapat pekerjaan baru. Pasar kerja semakin kompetitif, sementara perusahaan lebih selektif.
- Tekanan sosial. Budaya di sekitar kita sering menilai bahwa usia 30 harusnya sudah “mapan”.
- Kondisi ekonomi tak menentu. Banyak orang menunda keputusan besar karena takut menyesal jika ekonomi memburuk.
Namun, resign di usia 30 tidak selalu buruk. Justru, bagi sebagian orang, inilah waktu yang tepat.
- Kepuasan psikologis. Bekerja di bidang yang sesuai passion membuat hari-hari lebih bermakna.
- Pengembangan diri. Memulai jalur baru berarti membuka peluang untuk belajar skill baru dan memperluas jaringan.
- Peluang pendapatan lebih tinggi. Meski awalnya bisa menurun, di bidang yang tepat penghasilan justru bisa meningkat.
- Work-life balance. Karier baru bisa menawarkan fleksibilitas yang lebih baik dibanding pekerjaan lama.
Risiko dan Kendala Resign di Usia 30
Di balik manfaatnya, ada risiko yang harus dipertimbangkan matang-matang:
- Pendapatan bisa menurun sementara. Apalagi jika memulai dari nol di bidang baru.
- Butuh investasi waktu dan uang. Kursus, sertifikasi, hingga relasi baru memakan biaya.
- Tantangan membangun reputasi. Di karier lama, mungkin sudah dianggap ahli. Di bidang baru, harus mulai lagi dari bawah.
- Tekanan mental. Rasa ragu, komentar negatif dari orang sekitar, hingga ketidakpastian hasil bisa mengganggu.
Keputusan resign tidak boleh gegabah. Menurut para career coach, ada beberapa strategi agar langkah ini tidak berubah jadi penyesalan:
- Siapkan finansial dengan matang. Miliki dana darurat minimal 6–12 bulan biaya hidup.
- Uji coba sambil bekerja. Cobalah proyek sampingan, freelance, atau kursus sebelum resign penuh.
- Manfaatkan transferable skills. Misalnya kemampuan komunikasi, manajemen proyek, atau kepemimpinan yang bisa digunakan di bidang lain.
- Bangun jaringan dan mentor. Cari orang yang sudah pernah pindah karier untuk belajar dari pengalaman mereka.
- Persiapkan mental. Sadar bahwa transisi pasti penuh ketidakpastian, dan keberanian lebih penting daripada menunggu “waktu sempurna”.
Career coach Smith, yang diwawancarai oleh The Muse, menekankan bahwa perubahan karier besar selalu penuh tantangan, tidak peduli usia berapa pun.
“Perubahan besar adalah perubahan besar, tidak peduli dari mana kamu memulai atau ke mana kamu menuju,” kata dia.
Smith juga menegaskan bahwa mindset adalah pembeda utama. Banyak orang mengira mereka harus punya rasa percaya diri penuh sebelum mengambil keputusan besar. Padahal, menurutnya, yang lebih penting adalah keberanian.
“Kita sering berpikir kita butuh kepercayaan sebelum bertindak, tetapi yang sebenarnya diperlukan untuk perubahan karier bukanlah kepercayaan, melainkan keberanian,” sambungnya.
Artinya, jika menunggu sampai benar-benar yakin atau merasa sempurna, kita bisa tidak pernah bergerak. Keberanian untuk mengambil langkah, meskipun masih ada rasa takut, justru yang akan membuka jalan.
Jadi, apakah resign di usia 30 itu bijak atau nekat? Jawabannya ada di tanganmu, tergantung bagaimana kamu mempersiapkan diri.