Apakah Kebiasaan Selingkuh Bisa Menurun ke Anak? Orang Tua Harus Tahu Hal Ini

Ilustrasi selingkuh
Sumber :
  • Freepik

LifestylePerselingkuhan dalam rumah tangga kerap kali dianggap sebagai masalah pribadi antara pasangan suami istri. Namun, lebih dari sekadar konflik dalam hubungan, selingkuh memiliki dampak psikologis yang luas terhadap anggota keluarga lain, terutama anak-anak.

Dalam konteks parenting dan pola asuh, muncul pertanyaan krusial: apakah kebiasaan orang tua yang selingkuh dapat menurun ke anak? Apakah anak yang tumbuh dalam lingkungan keluarga tidak harmonis berisiko meniru pola hubungan yang sama di masa depan?

Pertanyaan ini semakin relevan di tengah meningkatnya angka perselingkuhan yang terpublikasi secara luas melalui media sosial, infotainment, hingga pengadilan agama. Meski selingkuh bukan perilaku yang diturunkan secara genetik, faktor lingkungan dan pengalaman masa kecil memiliki peran penting dalam membentuk sistem nilai dan perilaku seseorang saat dewasa, termasuk dalam menjalin hubungan romantis.

Lingkungan Keluarga dan Perilaku yang Ditiru Anak

Anak-anak adalah peniru ulung. Mereka belajar tentang dunia, hubungan, dan nilai-nilai melalui interaksi yang mereka saksikan setiap hari, khususnya dari orang tua mereka. Dalam konteks pola asuh, orang tua bukan hanya bertugas membimbing anak secara verbal, tetapi juga memberikan contoh melalui tindakan nyata.

Ketika anak tumbuh dalam keluarga yang penuh konflik, minim komunikasi sehat, dan terdapat ketidakkonsistenan dalam nilai-nilai moral—seperti perselingkuhan—maka ada potensi besar bahwa anak akan menginternalisasi perilaku tersebut sebagai sesuatu yang “biasa”. Hal ini bukan berarti setiap anak dari keluarga yang mengalami perselingkuhan akan menjadi pelaku di kemudian hari, namun risiko pembentukan persepsi negatif terhadap komitmen dan kepercayaan bisa meningkat secara signifikan.

Pola Asuh yang Tidak Sehat dan Dampaknya

Pola asuh berperan besar dalam membentuk kepribadian dan mekanisme anak dalam menjalin hubungan sosial. Jika orang tua yang berselingkuh gagal menjelaskan secara sehat kepada anak tentang konflik yang terjadi, atau bahkan menyalahkan pasangan di depan anak, maka anak cenderung mengembangkan ketidakpercayaan terhadap hubungan dan otoritas.

Dalam jangka panjang, hal ini bisa memicu masalah relasi di masa dewasa, seperti:

  1. Kesulitan membangun kepercayaan dalam hubungan percintaan
  2. Ketakutan akan komitmen
  3. Reproduksi pola manipulatif yang sama
  4. Kurangnya empati dalam menyikapi pasangan

Menurut penelitian dalam jurnal Journal of Family Psychology, anak-anak yang mengalami disfungsi keluarga, termasuk perselingkuhan, memiliki kecenderungan lebih tinggi mengalami gangguan emosional dan hubungan interpersonal yang bermasalah saat dewasa.

Apakah Selingkuh Bisa Diwariskan?

Dari perspektif ilmiah, tidak ada gen khusus yang menyebabkan seseorang menjadi pelaku perselingkuhan. Namun, para ahli psikologi menyebut bahwa faktor nurture (pengasuhan dan lingkungan) memainkan peran yang sangat besar. Dengan kata lain, selingkuh tidak diwariskan secara biologis, melainkan bisa dipelajari dan diinternalisasi melalui pengalaman hidup.

Kebiasaan ini lebih bersifat sebagai behavioral pattern yang terbentuk dari pengamatan dan pembiasaan sejak dini. Jika anak melihat bahwa konflik dalam hubungan selalu diakhiri dengan kebohongan atau pengkhianatan, maka besar kemungkinan mereka akan kesulitan membentuk nilai kejujuran dan komitmen yang kuat dalam hubungan mereka sendiri di masa depan.

Peran Komunikasi dan Edukasi Emosional

Dalam menghadapi situasi ini, penting bagi orang tua untuk tidak hanya fokus pada masalah hubungan dengan pasangan, tetapi juga mempertimbangkan dampak jangka panjang terhadap anak. Komunikasi terbuka dan edukasi emosional menjadi kunci utama dalam memutus siklus negatif ini.

Anak perlu diberikan pemahaman yang sesuai dengan usianya tentang pentingnya kejujuran, kesetiaan, dan menghargai orang lain dalam hubungan. Ketika orang tua mampu mengelola konflik secara dewasa dan penuh tanggung jawab, maka anak akan mendapatkan contoh langsung bagaimana menyikapi dinamika dalam hubungan dengan cara yang sehat.

Selain itu, melibatkan tenaga profesional seperti psikolog anak atau konselor keluarga dapat membantu anak memahami situasi tanpa trauma yang mendalam. Hal ini juga menjadi bagian dari upaya membentuk lingkungan parenting yang sehat, sekaligus melindungi anak dari dampak psikologis jangka panjang akibat pola asuh yang tidak stabil.

Studi Kasus dan Pengalaman Nyata

Dalam berbagai studi kasus, ditemukan bahwa sebagian anak yang tumbuh dalam keluarga dengan latar belakang perselingkuhan mampu berkembang menjadi individu yang justru sangat menjaga integritas dalam hubungan. Hal ini umumnya terjadi ketika ada dukungan emosional yang kuat dari orang tua lainnya atau sosok dewasa yang mampu memberi teladan positif.

Namun, sebaliknya, tak sedikit pula yang menunjukkan gejala trauma relasi, ketidakstabilan emosional, hingga mengulang pola hubungan toksik di masa dewasa. Perbedaan ini menunjukkan bahwa kunci utama bukan terletak pada peristiwa perselingkuhan itu sendiri, melainkan bagaimana orang tua mengelola pola asuh dan menghadirkan lingkungan yang mendukung bagi pertumbuhan psikologis anak.

Penelitian yang dilakukan oleh Dr. Ana Nogales, seorang psikolog klinis dan penulis buku Parents Who Cheat: How Children and Adults Are Affected When Their Parents Are Unfaithful, mengungkap dampak mendalam perselingkuhan orang tua terhadap anak-anak. Dalam survei terhadap lebih dari 800 anak dewasa yang orang tuanya pernah berselingkuh, ditemukan bahwa dampak psikologis ini tidak hanya bersifat sementara. Anak-anak yang menyaksikan atau mengetahui perselingkuhan orang tuanya cenderung mengalami kesulitan dalam membangun dan mempertahankan hubungan yang sehat di masa dewasa. Mereka mungkin menghadapi tantangan dalam mempercayai pasangan, merasa cemas terhadap komitmen, atau bahkan mengulangi pola perselingkuhan yang sama.