Beda Pola Asuh Generasi Dulu dan Sekarang, Mana yang Lebih Efektif?
- Freepik
Lifestyle –Dalam dunia parenting, tidak ada satu formula yang berlaku universal. Pola asuh anak terus berkembang dari masa ke masa, mengikuti perubahan sosial, budaya, dan teknologi. Generasi orang tua zaman dahulu—yang terdiri dari Baby Boomer dan sebagian besar Gen X—cenderung menerapkan pola asuh otoriter, tegas, dan penuh aturan. Di sisi lain, generasi milenial dan Gen Z yang kini mulai menjadi orang tua, memilih pendekatan yang lebih terbuka, responsif, dan berbasis pada pemahaman psikologis anak.
Perbedaan mencolok antara kedua generasi ini sering memicu perdebatan: mana yang lebih efektif dalam membentuk karakter anak? Apakah kedisiplinan ala generasi lama lebih menghasilkan anak yang tangguh? Ataukah pendekatan fleksibel generasi baru lebih membentuk anak yang bahagia dan percaya diri?
Pola Asuh Generasi Dulu: Otoritas sebagai Pilar Utama
Orang tua dari generasi dulu hidup dalam kondisi sosial dan ekonomi yang relatif lebih terbatas. Fokus utama mereka adalah menjadikan anak “jadi orang”, yakni memiliki pekerjaan tetap, patuh, dan tidak menyimpang dari norma. Hal ini tercermin dalam pola asuh yang kaku dan berbasis hierarki.
Komunikasi antara orang tua dan anak pada masa itu bersifat satu arah. Anak dituntut untuk mendengar, bukan berbicara. Disiplin tinggi dianggap sebagai kunci kesuksesan. Hukuman fisik atau verbal sering digunakan sebagai bentuk kontrol terhadap perilaku anak. Meski menuai kritik di era modern, pola ini menghasilkan generasi yang tahan banting, tangguh menghadapi tekanan, dan cenderung loyal pada keluarga.
Namun, pendekatan ini juga meninggalkan jejak psikologis tertentu. Banyak individu dari generasi ini mengaku kesulitan mengekspresikan emosi, memiliki luka batin masa kecil, hingga membawa trauma pengasuhan ke kehidupan dewasa mereka.
Pola Asuh Masa Kini: Fleksibilitas dan Empati
Berbeda dengan generasi sebelumnya, para orang tua dari kalangan milenial dan Gen Z cenderung lebih sadar akan pentingnya kesehatan mental, komunikasi dua arah, dan empati dalam mendidik anak. Mereka lebih banyak mengakses informasi melalui internet, mengikuti seminar parenting modern, hingga menerapkan pendekatan berbasis ilmu psikologi anak.
Pola asuh ini memberikan ruang aman bagi anak untuk mengekspresikan diri. Anak tidak lagi dianggap sebagai objek didik yang pasif, melainkan subjek aktif yang punya hak suara. Orang tua juga lebih terbuka untuk meminta maaf kepada anak jika melakukan kesalahan, sesuatu yang sangat jarang terjadi di generasi sebelumnya.
Namun, pola ini juga memiliki tantangan tersendiri. Tanpa batasan yang jelas, anak bisa tumbuh tanpa arah disiplin. Terlalu permisif dapat menyebabkan anak kesulitan menghadapi dunia nyata yang penuh aturan dan tekanan. Hal ini menjadi dilema utama bagi orang tua milenial dan Gen Z: bagaimana menciptakan keseimbangan antara kasih sayang dan ketegasan?
Pengaruh Sosial dan Budaya yang Membentuk Pola Asuh
Perbedaan pola asuh tidak terlepas dari konteks zaman yang membentuk masing-masing generasi. Generasi terdahulu hidup dalam masyarakat agraris atau industri yang menuntut kerja keras fisik dan ketaatan. Sebaliknya, generasi masa kini tumbuh dalam era informasi dan globalisasi, di mana akses terhadap ilmu parenting jauh lebih luas dan terbuka.
Selain itu, meningkatnya kesadaran akan kesehatan mental juga berkontribusi besar terhadap perubahan gaya pengasuhan. Para orang tua dari generasi baru menyadari pentingnya regulasi emosi, pola komunikasi yang sehat, dan hubungan yang setara antara anak dan orang tua.
Kelebihan dan Kekurangan Masing-Masing Gaya Asuh
Tidak dapat dipungkiri, masing-masing pendekatan memiliki keunggulan dan kelemahannya sendiri.
Pola asuh generasi dulu:
+ Anak cenderung disiplin, mandiri, dan tangguh.
- Kurang ekspresif secara emosional, berpotensi membawa luka pengasuhan.
Pola asuh generasi sekarang (milenial & Gen Z):
+ Anak tumbuh percaya diri, mampu berpikir kritis, dan terbuka.
- Rentan kurang disiplin, serta mudah stres jika tidak diajarkan batasan yang jelas.
Studi Kasus: Dinamika di Lapangan
Rina (29), seorang ibu milenial dari Jakarta, mengaku bahwa ia berusaha menerapkan pola asuh berbasis komunikasi terbuka dengan anak laki-lakinya yang berusia 6 tahun. Namun, ia mengaku pernah merasa kewalahan karena anaknya mulai melawan aturan.
“Akhirnya saya sadar, bahwa memberi kebebasan bukan berarti membiarkan tanpa batas,” ujarnya.
Sementara itu, pasangan lansia di Bandung, yang membesarkan anak dengan pola asuh disiplin khas generasi lama, mengakui ada jarak emosional yang mereka rasakan ketika anak tumbuh dewasa.
“Sekarang kami sedang belajar ulang cara berkomunikasi, karena dulu terlalu kaku,” kata sang ayah.