Anak Sulit Paham Matematika, Orang Tua Malah Emosi? Begini Cara Mengajar yang Efektif dan Tidak Bikin Stres!

Ilustrasi anak belajar
Sumber :
  • Freepik

Lifestyle –Mengajari anak pelajaran matematika di rumah bisa menjadi tantangan besar, apalagi ketika si anak terlihat kesulitan memahami materi dasar seperti penjumlahan atau pecahan. Tak jarang, orang tua yang awalnya ingin membantu justru terbawa emosi karena merasa anaknya “terlalu lambat menangkap pelajaran.” Alhasil, kegiatan belajar berubah menjadi ajang bentak-bentakan, anak menangis, orang tua frustasi, dan keduanya kelelahan secara emosional.

Apakah ini terdengar familiar?

Ternyata, masalah ini cukup umum terjadi. Namun yang perlu digarisbawahi: emosi bukanlah solusi. Dalam dunia pendidikan dan psikologi anak, ada cara yang jauh lebih efektif dan manusiawi untuk mengajari matematika tanpa harus memaksakan, membentak, atau membuat anak takut belajar.

Lantas, bagaimana cara yang tepat agar anak bisa memahami matematika tanpa membuat orang tua kehilangan kesabaran? Simak penjelasan berikut dari pakar pendidikan yang kredibel.

Emosi Orang Tua Bikin Anak Makin Sulit Belajar

Profesor pendidikan matematika dari Stanford University, Dr. Jo Boaler, menjelaskan bahwa tekanan emosional bisa berdampak negatif terhadap kemampuan belajar anak, terutama dalam mata pelajaran seperti matematika yang sering kali sudah membuat anak merasa terintimidasi sejak awal.

"Ketika anak merasa stres atau takut saat belajar matematika, bagian otak yang bertanggung jawab untuk pemrosesan logika dan memori kerja menjadi terganggu. Ini artinya, semakin dimarahi, semakin sulit mereka berpikir jernih," ujar Boaler dalam wawancara dengan The New York Times.

Sebaliknya, suasana belajar yang positif dan bebas dari rasa takut dapat meningkatkan kepercayaan diri dan kemampuan berpikir kritis anak. Oleh karena itu, peran orang tua bukan hanya sebagai pengajar, tetapi juga sebagai pendamping emosional yang menumbuhkan rasa aman saat belajar.

5 Cara Mengajari Matematika Tanpa Emosi

1. Ubah Pola Pikir: Matematika Bukan Bakat, Tapi Keterampilan

Banyak orang tua percaya bahwa anak harus berbakat dalam matematika agar bisa memahami pelajaran dengan mudah. Padahal, menurut Dr. Boaler, anggapan ini keliru.

"Matematika adalah keterampilan yang bisa dipelajari siapa pun dengan latihan dan pendekatan yang tepat. Bukan soal bakat, tapi soal strategi dan kepercayaan diri," tegasnya.

Jadi, ketika anak tidak paham-paham, bukan berarti mereka tidak bisa, tetapi mungkin mereka membutuhkan pendekatan yang berbeda atau waktu yang lebih lama.

2. Gunakan Bahasa yang Membangun

Gantilah komentar seperti “kok gitu aja nggak ngerti?” atau “masa segitu aja salah?” dengan kalimat yang membangun seperti:

  • “Oke, ini memang agak sulit. Kita coba lagi pelan-pelan, ya.”
  • “Kamu hampir benar, tinggal sedikit lagi nih.”
  • “Aku juga dulu perlu waktu buat ngerti ini, kok.”

Menurut Boaler, bahasa yang membangun akan meningkatkan growth mindset pada anak yakni kepercayaan bahwa mereka bisa berkembang jika terus mencoba.

3. Fokus pada Pemahaman, Bukan Hanya Jawaban Benar

Orang tua sering kali terjebak pada angka hasil akhir. Padahal, yang lebih penting dalam belajar matematika adalah proses berpikir anak. Biarkan mereka menjelaskan bagaimana mereka sampai pada suatu jawaban, meskipun ternyata jawabannya salah.

Boaler menyarankan agar orang tua memberi kesempatan anak mengeksplorasi berbagai cara untuk menyelesaikan soal.

"Satu soal matematika bisa punya banyak cara penyelesaian dan membiarkan anak mencari caranya sendiri akan membuat pemahaman mereka jauh lebih dalam," katanya.

4. Gunakan Media Visual dan Konkret

Anak-anak usia SD umumnya belum bisa berpikir abstrak secara penuh. Maka, angka-angka di kertas bisa terasa sangat membingungkan. Cobalah gunakan benda konkret seperti kancing, stik es krim, atau bahkan makanan ringan sebagai alat bantu visual.

"Matematika jauh lebih mudah dipahami saat anak bisa ‘melihat’ dan ‘meraba’ konsepnya, bukan hanya menghafal," jelas Boaler dalam bukunya Mathematical Mindsets.

Contohnya: gunakan 10 kancing untuk menjelaskan konsep penjumlahan dan pengurangan, atau potong buah menjadi bagian pecahan untuk menjelaskan konsep ½, ⅓, dan sebagainya.

5. Batasi Waktu Belajar dan Beri Waktu Istirahat

Studi menunjukkan bahwa konsentrasi anak, terutama usia SD, hanya bisa bertahan 20–30 menit. Memaksakan belajar matematika terus-menerus selama satu jam lebih justru kontraproduktif.

Cobalah belajar dalam sesi singkat, misalnya 25 menit belajar lalu istirahat 5–10 menit. Selama istirahat, ajak anak minum air, jalan sebentar, atau melakukan gerakan peregangan ringan. Ini akan menyegarkan otak mereka dan membuat mereka lebih siap belajar kembali.

Apa yang Bisa Dilakukan Jika Tetap Emosi?

Jika orang tua merasa emosi mulai memuncak, langkah terbaik adalah berhenti sejenak. Tarik napas, tinggalkan ruang belajar sebentar, dan beri jeda untuk diri sendiri.

Seperti yang dijelaskan oleh Dr. Laura Markham, psikolog anak dan penulis Peaceful Parent, Happy Kids, anak-anak bisa belajar hanya saat mereka merasa aman dan dicintai.

"Ketika orang tua marah, otak anak akan masuk mode bertahan (survival mode), dan semua usaha belajar akan sia-sia," kata dia.

Mengajari matematika bukan soal siapa yang lebih pintar. Ini adalah momen untuk tumbuh bersama. Jika anak tidak paham, artinya kita harus menemukan cara baru bukan memaksakan cara lama. Jadikan kegiatan belajar sebagai kerja sama, bukan kompetisi antara orang tua dan anak.

Dengan pendekatan yang sabar, kreatif, dan penuh empati, anak akan belajar matematika bukan dengan rasa takut, tetapi dengan rasa percaya diri dan ingin tahu yang besar. Dan pada akhirnya, bukankah itulah esensi pendidikan yang sesungguhnya?