Bukan Hanya Berdampak ke Otak, Keseringan Main Game Juga Bisa Pengaruhi Masa Depan Anak!

Ilustrasi anak main game
Sumber :
  • iStock

Lifestyle –Di era digital saat ini, bermain game telah menjadi salah satu aktivitas favorit anak-anak. Dari game edukatif hingga permainan daring yang menantang, dunia game menawarkan daya tarik luar biasa. Namun, di balik kesenangan tersebut, terdapat kekhawatiran mendalam dari para ahli, terutama ketika bermain game berubah menjadi kebiasaan yang berlebihan.

Salah satu tokoh yang aktif meneliti pengaruh media digital terhadap perkembangan anak adalah Dr. Dimitri Christakis, direktur Center for Child Health, Behavior and Development di Seattle Children’s Research Institute. Ia menegaskan bahwa kebiasaan bermain game, terutama dalam jangka waktu panjang, dapat memberikan dampak serius terhadap perkembangan kognitif, perilaku, hingga sosial anak.

Menurut Christakis, otak anak-anak sangat plastis, artinya mudah berubah dan berkembang tergantung pada stimulasi yang diberikan. Game, terutama yang cepat dan intens, memberikan stimulasi visual dan sensorik dalam dosis tinggi.

“Permainan video memperkuat jalur otak yang terkait dengan respons cepat, tetapi bisa mengabaikan jalur lain yang mendukung fokus jangka panjang dan empati,” jelasnya dalam salah satu penelitiannya.

Ketika anak terlalu sering bermain game, terutama jenis fast-paced (berkecepatan tinggi), bagian otak yang mengatur konsentrasi mendalam, empati, dan pengendalian diri bisa menjadi kurang aktif. Ini berpotensi menjelaskan mengapa beberapa anak menjadi lebih impulsif atau mudah gelisah setelah bermain game terlalu lama.

Risiko Gangguan Perilaku dan Emosi

Bukan hanya perubahan neurologis, kebiasaan bermain game berlebihan juga dikaitkan dengan masalah perilaku.

Dr. Christakis menjelaskan bahwa anak-anak yang terlalu sering terpapar media digital seperti game cenderung menunjukkan kesulitan mengontrol emosi, mudah marah saat diminta berhenti bermain hingga ketergantungan terhadap gadget sebagai sumber kenyamanan.

Dalam studi yang diterbitkan di JAMA Pediatrics, Christakis menemukan bahwa anak usia dini yang menghabiskan lebih dari 1 jam per hari di depan layar memiliki risiko lebih tinggi mengalami masalah perhatian di usia sekolah.

Lebih jauh lagi, game dengan konten kekerasan berulang juga dapat memicu anak menjadi desensitisasi terhadap kekerasan di dunia nyata. Anak menjadi kurang peka terhadap rasa sakit orang lain dan cenderung meniru perilaku agresif yang mereka lihat dalam permainan.

Dampak Jangka Panjang terhadap Hubungan Sosial dan Akademik

Christakis juga menggarisbawahi bahwa game bisa mengganggu interaksi sosial anak. Ketika seorang anak lebih sering bermain game daripada berinteraksi secara langsung dengan keluarga atau teman, ia bisa kehilangan kemampuan dasar dalam membangun relasi, seperti membaca ekspresi wajah, menyimak percakapan dan menyesuaikan emosi dalam situasi sosial.

Dampaknya bisa berlanjut hingga ke sekolah. Anak-anak yang tidur larut malam karena bermain game cenderung datang ke sekolah dalam kondisi lelah, tidak fokus, dan kurang produktif. Hal ini berpengaruh pada penurunan prestasi akademik, bahkan ketidaktertarikan untuk belajar.

Apakah Semua Game Buruk?

Tidak semua game berdampak negatif. Dr. Christakis menegaskan pentingnya membedakan antara penggunaan pasif dan aktif dari media digital.

Game edukatif yang dirancang dengan baik bisa melatih keterampilan berpikir kritis, logika, dan bahkan kerja sama tim. Namun, tetap ada batasan yang perlu ditegakkan.

Menurut rekomendasi American Academy of Pediatrics yang didukung oleh Christakis:

  • Anak usia 2–5 tahun sebaiknya tidak menggunakan layar lebih dari 1 jam per hari
  • Anak usia 6 tahun ke atas boleh bermain game, tetapi harus seimbang dengan aktivitas fisik, tidur, dan waktu keluarga

Utamanya adalah kehadiran orang tua dalam membimbing dan mengawasi pemakaian game. Game bisa menjadi alat belajar yang efektif, tetapi bukan pengasuh virtual yang menggantikan peran orang tua.

Solusi untuk Orang Tua: Membantu Anak Mengelola Waktu Game

Christakis menyarankan pendekatan berbasis kedekatan emosional dan struktur waktu, bukan hukuman ekstrem, untuk mengatur penggunaan game pada anak.

Berikut beberapa langkah praktis:

  • Buat jadwal layar harian: Tentukan waktu khusus untuk bermain game, misalnya hanya di akhir pekan selama 1 jam.
  • Libatkan anak memilih game: Ajak anak mendiskusikan jenis permainan yang akan dimainkan, agar mereka merasa dilibatkan namun tetap diarahkan.
  • Gantikan game dengan aktivitas fisik: Aktivitas seperti bersepeda, menggambar, atau bermain di luar bisa menjadi alternatif menyenangkan.
  • Jadilah contoh: Anak belajar dari orang tuanya. Jika orang tua terus-menerus menatap ponsel, anak pun akan menirunya.

Kebiasaan bermain game memang tidak bisa dihindari dalam era digital ini. Namun, orang tua memiliki peran penting dalam memastikan bahwa penggunaan game tetap dalam batas wajar dan sehat.

Penjelasan dari Dr. Dimitri Christakis mengingatkan kita bahwa apa yang tampak seperti aktivitas biasa, seperti bermain game, bisa berdampak dalam terhadap tumbuh kembang anak baik secara kognitif, emosional, maupun sosial.

Dengan pengawasan, kedekatan, dan kebiasaan yang sehat, anak bisa tetap menikmati game tanpa harus mengorbankan masa depan dan perkembangan mereka. Kuncinya adalah keseimbangan antara dunia digital dan dunia nyata.