Kenapa Banyak Anak SD Cepat Bosan Belajar? Begini Triknya Biar Belajar Nggak Jadi Beban

Ilustrasi ibu mengajari anak belajar
Sumber :
  • Freepik

Lifestyle –Banyak orang tua mengeluhkan hal yang sama setelah anak masuk SD, semangat belajarnya justru makin menurun. Padahal sebelumnya terlihat antusias saat membeli buku baru, tas sekolah, atau seragam. Tapi beberapa minggu setelah masuk sekolah, mulai sering ngeluh, ogah ngerjain PR, dan mudah terdistraksi. Apa yang salah?

Menurut profesor psikologi di University of Virginia dan peneliti terkemuka dalam pendidikan Montessori, Dr. Angeline S. Lillard, masalah ini bukan karena anak malas. Justru ini adalah tanda bahwa cara belajar yang diberikan belum sesuai dengan cara kerja otak anak usia dini.

"Ketika anak belajar melalui pengalaman konkret, mereka memahami lebih dalam, mengingat lebih lama, dan merasa bahwa belajar itu menyenangkan," kata Lillard.

Anak usia 6–8 tahun berada dalam masa transisi penting yang mana mereka mulai memasuki dunia akademik, tapi otak mereka masih dominan bekerja melalui gerakan, visual, dan imajinasi. Sayangnya, sistem belajar formal seringkali menuntut anak untuk duduk diam, mencatat, dan menghafal, yang bertentangan dengan kebutuhan otak mereka.

Lillard dalam bukunya Montessori: The Science Behind the Genius, menjelaskan bahwa anak-anak lebih mudah memahami sesuatu ketika mereka terlibat secara aktif, bukan sekadar mendengarkan.

Pendekatan Montessori dan pembelajaran kinestetik menekankan pentingnya eksplorasi langsung, sentuhan, gerakan, dan cerita sebagai cara alami anak dalam menyerap informasi.

Trik Visual: Belajar Lewat Gambar dan Warna

Bagi anak-anak, visualisasi bukan sekadar dekorasi, itu adalah alat belajar utama. Warna, bentuk, dan gambar membantu mereka mengaitkan informasi dengan makna nyata. Beberapa trik visual yang bisa kamu terapkan di rumah:

  • Belajar berhitung pakai kancing atau balok warna-warni.

  • Menyusun huruf-huruf dari stik es krim atau plastisin.

  • Bikin diagram tubuh manusia dari potongan kertas warna dan menempelkannya di dinding.

Lillard menyarankan agar orang tua tidak hanya memberikan gambar, tapi juga mengajak anak membuatnya sendiri. Ketika anak menggambar konsep yang mereka pelajari, mereka tidak hanya memahami secara kognitif, tetapi juga menguatkan ingatan lewat aktivitas motorik.

Cerita dan Imajinasi: Jadikan Pelajaran sebagai Kisah Seru

Anak usia awal sekolah dasar sangat kaya akan imajinasi. Mereka bisa tenggelam dalam cerita tentang monster ramah, huruf-huruf yang bertengkar, atau angka-angka yang sedang berlomba. Maka, mengapa tidak memanfaatkan kekuatan cerita dalam proses belajar? Beberapa ide yang bisa dicoba:

  • Huruf jadi karakter: “Si A pemalu, suka sembunyi di awal kata. Tapi si B berani dan suka berdiri di tengah.”

  • Angka jadi tokoh: “Si Enam dan Sembilan saling meniru tapi beda sifat.”

  • Proses alam jadi dongeng: “Awan suka menangis, makanya turun hujan.”

Cerita menciptakan keterlibatan emosional, dan menurut Lillard, koneksi emosional membuat informasi lebih mudah diingat. Ini juga membantu anak memahami struktur berpikir dan hubungan sebab-akibat dengan cara yang menyenangkan.

Ajak Anak Bergerak: Kinestetik Learning yang Efektif

Tidak semua anak suka duduk tenang saat belajar. Bahkan, sebagian besar anak usia SD belajar lebih cepat saat mereka bergerak. Inilah yang disebut dengan kinestetik learning, belajar melalui gerakan tubuh.

Contoh aktivitas sederhana:

  • Belajar huruf sambil melompat: 1 huruf = 1 lompatan.

  • Menyusun angka dari mainan di lantai.

  • Menunjukkan bentuk geometri dengan posisi tubuh (segitiga, lingkaran).

  • Jalan sambil mengeja kata.

Menurut Lillard, saat tubuh bergerak, otak anak mengaktifkan area memori otot dan bahasa secara bersamaan, sehingga pemahaman jadi lebih kuat dan tidak membosankan.

Libatkan Pancaindra: Belajar Lewat Sentuhan dan Pengalaman Nyata

Montessori sangat menekankan sensory-based learning, yaitu pembelajaran melalui indera. Bukan hanya melihat atau mendengar, tapi juga meraba, merasakan, dan mencoba langsung.

"Saat tangan anak sibuk, otaknya aktif membangun hubungan makna," kata Lillard.

Ide aktivitas sensorial:

  • Menebak huruf dengan mata tertutup dari tekstur kasar dan halus.

  • Belajar ukuran dan berat benda lewat menimbang atau menuang air.

  • Menyusun balok dari yang kecil ke besar untuk belajar konsep volume.

Kegiatan-kegiatan seperti ini membuat anak lebih fokus, aktif, dan merasa belajar adalah bagian dari bermain.

Beri Anak Pilihan dan Ruang untuk Bereksplorasi

Salah satu prinsip penting dalam Montessori adalah memberi anak kebebasan dalam batas yang jelas. Artinya, biarkan anak memilih cara belajar, tapi tetap dalam struktur yang mendukung.

Misalnya:

  • Mau belajar menulis pakai spidol atau crayon?

  • Mau belajar sambil duduk di meja atau di tikar sambil tiduran?

  • Mau dengar cerita dulu baru belajar, atau sebaliknya?

Lillard menjelaskan bahwa pilihan-pilihan kecil seperti ini membuat anak merasa dihargai dan memiliki kendali, yang akhirnya meningkatkan motivasi belajar dari dalam diri sendiri, bukan karena disuruh.

Apresiasi Proses, Bukan Hanya Hasil

Anak akan lebih berani belajar jika tahu bahwa usaha mereka dihargai, bukan hanya hasil akhirnya. Terlalu sering memuji nilai sempurna atau kecepatan justru membuat anak takut gagal.

Sebaliknya, beri pujian pada proses:

  • “Kamu telaten banget ya menyusun angka tadi.”

  • “Gambarnya bagus banget, kamu serius banget bikinnya!”

  • “Wah, kamu bisa menyelesaikan cerita dari awal sampai akhir, keren!”

Lillard menyebut ini sebagai intrinsic reward. Anak-anak yang terbiasa mendapatkan penghargaan atas usaha akan lebih gigih menghadapi tantangan belajar di masa depan.