Viral Dugaan Siswa Dilecehkan oleh Oknum Guru di SMA di Kota Serang, Ini Langkah Awal yang Harus Dilakukan Orang Tua

Ilustrasi pelecehan seksual
Sumber :
  • iStock

Lifestyle –Pengguna media sosial tengah dihebohkan dengan kasus dugaan pelecehan seksual yang terjadi di salah satu SMA Negeri 4 di Kota Serang Banten. Kabar ini viral sejak Kamis sore kemarin usai unggahan akun tersebut terkait kasus itu diunggah awal pekan ini oleh akun media sosial Instagram @savesmanfourkotser. 

Dalam unggahan itu, disebutkan adanya dugaan pelecehan seksual yang dilakukan oleh oknum guru sekolah tersebut. Berdasarkan unggahan itu, semua cerita dari pada korban merujuk pada satu nama yang sama.

Disebutkan bahwa korban dugaan pelecehan seksual tersebut berasal dari berbagai Angkatan mulai dari alumni hinga siswa kelas 10. Namun sayangnya saat korban melapor tanggapan pihak sekolah malah meminta siswa untuk memaafkan pelaku.

“Sudah ya, dimaafkan saja, jangan bilang orang tua,” demikian kutipan dari akun tersebut.

Lantas sebagai orang tua apa yang perlu dilakukan? Pertama mari pahami dan kenali tanda-tanda anak menjadi korban. Anak jarang mengungkap mereka sebagai korban pelecehan secara langsung. Mereka lebih sering menunjukkan sinyal lewat perubahan perilaku, misalnya:

  • Menolak ke sekolah atau takut bertemu guru tertentu
  • Menarik diri, sering marah, atau menjadi lebih pendiam
  • Muncul keluhan fisik tanpa sebab jelas seperti sakit perut atau pusing
  • Menghindari sentuhan fisik
  • Mimpi buruk atau mengompol tiba-tiba
  • Mengucapkan pernyataan samar seperti “Ada yang jahat di sekolah” atau “Aku nggak suka tempat dudukku sekarang”

Psikolog anak dan remaja dari University of California, Berkeley, yang mengkhususkan diri pada pemulihan trauma masa kecil, dr. Eliza Taylor menekankan bahwa anak-anak sering memberi sinyal lewat perilaku, bukan kata-kata.

"Orang tua perlu peka, karena pelecehan bisa membuat anak merasa bersalah, padahal jelas bukan salah mereka," kata dia. 

Tetap Tenang dan Jangan Menyalahkan Anak

Ketika anak akhirnya bercerita, entah secara langsung atau tidak, hal terpenting yang perlu dilakukan orang tua adalah menahan reaksi spontan yang bisa melukai perasaan anak misalnya dengan marah, panik berlebihan, atau mengajukan pertanyaan menyudutkan seperti, “Kenapa kamu baru bilang sekarang?” atau “Kamu ngapain aja sampai bisa begitu?”

Sebaliknya, berikan pelukan dan katakan dengan tenang:

“Kamu nggak salah. Terima kasih sudah berani cerita. Mama/Papa akan jaga kamu.”

Menurut Dr. Taylor, empati di detik pertama adalah perlindungan terbesar, sebab anak akan mengingatnya seumur hidup.

Jaga Keamanan Anak dan Kumpulkan Informasi Awal

Setelah merespons dengan tenang dan penuh empati, segera jauhkan anak dari pelaku. Bila pelakunya adalah guru, pertimbangkan untuk minta izin cuti sekolah sementara atau minta pihak sekolah mengatur ulang jadwal anak agar tak lagi bertemu dengan pelaku.

Lalu, kumpulkan informasi dengan hati-hati:

  • Dengarkan versi anak tanpa menyisipkan opini
  • Catat waktu, tempat, dan ucapan anak persis seperti yang dia sampaikan
  • Simpan bukti jika ada (misalnya pesan teks, pakaian, atau coretan buku)

Hindari memposting informasi apa pun ke media sosial. Dalam kondisi seperti ini, proses hukum dan perlindungan psikologis jauh lebih penting daripada viralitas.

"Bukti bisa hilang, tapi trauma anak tidak. Bergerak cepat dengan bijak adalah bentuk perlindungan nyata," ujar Dr. Eliza Taylor.

Laporkan ke Pihak Berwenang, Jangan Tutup-Tutupi

Langkah penting berikutnya adalah melaporkan kasus ini ke polisi, khususnya Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (UPPA). Anda juga dapat melapor ke Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Dinas Pendidikan, atau lembaga perlindungan anak di daerah masing-masing.

Jika khawatir dengan proses hukum yang rumit, Anda bisa meminta pendampingan dari lembaga seperti:

  • P2TP2A (Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak)
  • LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban)
  • LSM yang fokus pada perlindungan anak

"Melibatkan sistem hukum bukan soal balas dendam, tapi memastikan anak mendapat keadilan dan perlindungan ke depan," tegas Dr. Taylor.

Dukung Pemulihan Psikologis Anak

Setelah aman secara fisik dan hukum, anak tetap membutuhkan pendampingan untuk pulih secara psikologis. Pelecehan yang dialami bisa meninggalkan luka jangka panjang jika tidak ditangani. Pendekatan yang bisa dilakukan:

  • Terapi bermain (play therapy) untuk anak usia dini
  • Terapi bicara dengan psikolog anak atau remaja
  • Konseling keluarga agar seluruh anggota tahu bagaimana mendukung anak
  • Membiarkan anak mengekspresikan emosinya tanpa menyuruh “lupakan saja”

"Jangan buru-buru menyuruh anak melupakan. Yang mereka butuhkan adalah ruang untuk bicara, menangis, dan merasa bahwa apa yang mereka alami itu bukan aib," jelas Dr. Taylor.

Tuntut Tanggung Jawab Sekolah

Sayangnya, dalam beberapa kasus, sekolah bersikap defensif atau bahkan mencoba menutup-nutupi kasus dengan alasan “nama baik lembaga.” Di sinilah pentingnya keberanian orang tua untuk bersikap tegas dan tidak diam.

Orang tua berhak:

  • Menuntut penjelasan resmi dari sekolah
  • Meminta pelaku diberhentikan dan diusut secara hukum
  • Mengajak sekolah menyediakan konselor atau psikolog bagi korban dan siswa lainnya
  • Melibatkan komite sekolah atau lembaga pendidikan setempat

"Komunitas pendidikan tidak boleh menjadi tempat nyaman bagi pelaku. Keberanian orang tua bisa menyelamatkan anak-anak lain," ujar Dr. Taylor.

Jangan Merasa Sendiri: Libatkan Dukungan Sosial

Kejadian seperti ini bisa membuat orang tua merasa terisolasi, apalagi jika menghadapi tekanan sosial seperti jangan besar-besarkan masalah atau nanti bikin malu.

Faktanya, Anda tidak sendiri. Banyak orang tua mengalami hal serupa dan bisa saling mendukung melalui komunitas atau konseling kelompok.

Dr. Taylor menyarankan:

  • Bergabung dalam komunitas pendamping korban
  • Berkonsultasi dengan ahli hukum dan psikologi
  • Jangan menutupi kasus hanya karena rasa malu, itu justru memperburuk luka anak

“Anak tidak butuh orang tua yang takut gosip, tapi yang berani bersuara.”