Dampak Buruk Kebiasaan Bandingkan Anak dengan Orang Lain

Ilustrasi anak bermain
Sumber :
  • Freepik

LifestyleMembandingkan anak dengan orang lain, baik dengan saudara, teman sebaya, atau anak lain di lingkungan sosial, sering kali dianggap sebagai cara untuk memotivasi anak agar lebih berprestasi. Namun, kebiasaan ini justru dapat membawa dampak negatif yang signifikan terhadap perkembangan emosional, mental, dan sosial anak. 

Dalam dunia parenting, pendekatan yang seharusnya membangun rasa percaya diri anak malah dapat merusak harga diri mereka jika dilakukan dengan cara yang salah. Berikut ini adalah dampak buruk dari kebiasaan membandingkan anak dengan orang lain, mengapa hal ini merugikan, serta bagaimana pola asuh yang lebih positif dapat membantu anak tumbuh menjadi individu yang percaya diri dan mandiri.

Mengapa Membandingkan Anak Merugikan?

Membandingkan anak dengan orang lain sering kali dilakukan dengan niat baik, seperti mendorong anak untuk belajar lebih giat atau berperilaku lebih baik. Namun, tanpa disadari, perbandingan ini dapat membuat anak merasa tidak cukup baik atau gagal memenuhi ekspektasi orang tua. 

Menurut penelitian dalam psikologi perkembangan, anak yang sering dibandingkan cenderung mengalami penurunan harga diri (self-esteem) karena mereka merasa dihakimi berdasarkan standar yang tidak realistis. Alih-alih termotivasi, anak justru merasa tertekan, minder, atau bahkan membenci diri sendiri karena merasa tidak mampu mencapai apa yang orang tua harapkan.

Perbandingan juga dapat memengaruhi hubungan anak dengan orang tua. Ketika anak merasa terus-menerus dibandingkan, mereka mungkin menarik diri secara emosional, mengurangi komunikasi terbuka, atau bahkan menunjukkan sikap memberontak. 

Hal ini terjadi karena anak merasa tidak diterima apa adanya, yang dapat melemahkan ikatan emosional dengan orang tua. Selain itu, perbandingan dapat memicu persaingan tidak sehat dengan saudara atau teman, yang pada akhirnya merusak hubungan sosial anak.

Dampak Psikologis pada Anak

Dampak psikologis dari kebiasaan membandingkan anak sangat beragam dan dapat berlangsung hingga dewasa. Salah satu dampak utama adalah meningkatnya risiko kecemasan dan depresi. Anak yang sering dibandingkan cenderung mengembangkan pola pikir perfeksionis, di mana mereka merasa harus selalu menjadi yang terbaik untuk mendapatkan pengakuan. 

Tekanan ini dapat menyebabkan stres kronis, yang pada anak-anak dapat bermanifestasi dalam bentuk gangguan tidur, sulit berkonsentrasi, atau perilaku agresif.

Selain itu, perbandingan dapat menghambat perkembangan identitas diri anak. Anak yang terus-menerus dibandingkan dengan orang lain mungkin kehilangan kesempatan untuk mengenal kekuatan dan kelemahan mereka sendiri. 

Mereka menjadi lebih fokus pada memenuhi ekspektasi eksternal daripada mengembangkan potensi unik mereka. Akibatnya, anak mungkin tumbuh dengan rasa percaya diri yang rendah dan kesulitan membuat keputusan independen di masa depan.

Dampak pada Motivasi dan Prestasi Akademik

Meskipun banyak orang tua percaya bahwa membandingkan anak dapat mendorong mereka untuk berprestasi lebih baik, penelitian menunjukkan sebaliknya. Anak yang sering dibandingkan cenderung kehilangan motivasi intrinsik, yaitu dorongan untuk belajar atau berusaha karena keinginan pribadi. 

Sebaliknya, mereka mungkin hanya termotivasi oleh keinginan untuk menghindari kritik atau mendapatkan pujian, yang dikenal sebagai motivasi ekstrinsik. Motivasi jenis ini bersifat sementara dan tidak berkelanjutan, sehingga anak mungkin tidak konsisten dalam usaha mereka.

Dalam konteks akademik, anak yang sering dibandingkan dengan teman sekelas yang lebih berprestasi mungkin merasa putus asa atau tidak mampu bersaing. Hal ini dapat menyebabkan penurunan performa akademik, karena anak merasa bahwa usaha mereka tidak akan pernah cukup baik. Sebaliknya, anak yang didukung dengan pujian atas usaha mereka, bukan hasil akhir, cenderung lebih termotivasi untuk terus belajar dan mengatasi tantangan.

Dampak Sosial dan Hubungan dengan Orang Lain

Kebiasaan membandingkan anak juga dapat memengaruhi cara mereka berinteraksi dengan orang lain. Anak yang sering dibandingkan dengan saudara atau teman mungkin mengembangkan rasa iri atau dendam terhadap individu tersebut. 

Misalnya, pernyataan seperti “Kenapa kamu tidak bisa seperti kakakmu?” dapat memicu konflik antar saudara dan merusak hubungan keluarga. Dalam lingkungan sosial yang lebih luas, anak mungkin menjadi terlalu kompetitif atau menarik diri dari interaksi sosial karena merasa tidak cukup baik dibandingkan teman-temannya.

Selain itu, anak yang sering dibandingkan cenderung mengembangkan pola pikir tetap (fixed mindset), di mana mereka percaya bahwa kemampuan mereka bersifat statis dan tidak dapat ditingkatkan. 

Hal ini berbeda dengan pola pikir berkembang (growth mindset), yang mendorong anak untuk melihat tantangan sebagai peluang untuk belajar. Pola pikir tetap dapat membuat anak menghindari aktivitas baru atau menyerah dengan mudah ketika menghadapi kesulitan, karena mereka takut gagal atau dibandingkan lagi.

Cara Mendukung Anak Tanpa Membandingkan

Untuk menghindari dampak buruk dari kebiasaan membandingkan, orang tua dapat mengadopsi pendekatan pengasuhan yang lebih positif dan mendukung. Salah satu caranya adalah dengan fokus pada usaha anak, bukan hasil akhir. 

Misalnya, alih-alih berkata, “Nilai kamu tidak sebagus temanmu,” cobalah mengatakan, “Aku melihat kamu sudah berusaha keras mengerjakan tugas ini, apa yang bisa kita lakukan untuk membantu kamu lebih memahami materinya?” Pendekatan ini membantu anak merasa dihargai atas usaha mereka dan mendorong mereka untuk terus berusaha.

Selain itu, orang tua dapat membantu anak mengenali kekuatan dan minat mereka sendiri. Dorong anak untuk mengejar aktivitas yang mereka sukai dan berikan pujian spesifik atas kemajuan mereka. 

Misalnya, jika anak menunjukkan bakat dalam seni, akui kreativitas mereka tanpa membandingkannya dengan anak lain yang mungkin lebih unggul dalam bidang akademik. Dengan cara ini, anak belajar menghargai keunikan mereka sendiri dan membangun rasa percaya diri yang kokoh.

Membangun Lingkungan yang Mendukung Perkembangan Anak

Lingkungan keluarga yang positif sangat penting untuk perkembangan anak. Orang tua dapat menciptakan lingkungan ini dengan menghindari perbandingan dan fokus pada komunikasi terbuka. Dengarkan kekhawatiran anak, validasi perasaan mereka, dan berikan dukungan tanpa syarat. 

Misalnya, jika anak merasa kesulitan dalam pelajaran matematika, alih-alih membandingkannya dengan teman yang lebih baik dalam mata pelajaran tersebut, tawarkan bantuan seperti les tambahan atau waktu belajar bersama.