'Mau Makan Apa? Terserah' Ini Alasan Kenapa Milih Makan Siang Bisa Bikin Galau!

Ilustrasi makan siang
Sumber :
  • Freepik

Lifestyle –Pernah mengalami momen seperti ini: jam makan siang tiba, perut keroncongan, tapi kamu malah terpaku menatap layar ponsel, bingung scroll aplikasi makanan, lalu berujung pada satu kata yang terlalu sering diucapkan  “terserah.”

 

Padahal, pilih makan siang seharusnya mudah, bukan? Tapi kenyataannya, memilih apa yang akan kita makan di tengah hari sering kali jadi keputusan paling bikin pusing, apalagi saat lapar sudah menyerang. Kenapa begitu?

 

Fenomena ini bukan cuma terjadi padamu. Ada penjelasan ilmiah di balik kenapa memilih makan siang bisa terasa begitu berat  mulai dari kelelahan otak, terlalu banyak pilihan, hingga tekanan sosial. Yuk, kita kupas tuntas berdasarkan psikologi pilihan dengan penjelasan dari profesor psikologi dari Swarthmore College sekaligus penulis buku The Paradox of Choice, Dr. Barry Schwartz.

Dijelaskan oleh Schwartz ada banyak alasan mengapa seseorang terutama mereka pekerja yang sulit untuk menentukan akan makan siang menggunakan lauk apa. Beberapa alasan tersebut antara lain sebagai berikut.

 

Decision Fatigue: Otakmu Sudah Lelah Memilih

 

Sejak pagi, kita sudah membuat ratusan keputusan mau bangun jam berapa, pakai baju apa, buka email mana dulu, balas pesan mana dulu, rapat mana yang harus dihadiri, dan seterusnya. Semua itu menghabiskan kapasitas otak untuk mengambil keputusan.

 

Fenomena ini disebut decision fatigue, yaitu kondisi ketika kemampuan otak untuk membuat keputusan mulai menurun akibat kelelahan mental. Jadi ketika waktunya makan siang tiba, kita sudah terlalu lelah secara kognitif untuk membuat keputusan baru termasuk keputusan sederhana seperti memilih mau makan apa.

 

Akhirnya, otak mengambil jalan pintas menyerah. Kita pun melempar pertanyaan ke teman, pasangan, atau rekan kerja seperti “Terserah, kamu aja deh.”

 

Padahal, rasa lapar tetap ada. Tapi otak enggan menambahkan satu beban keputusan lagi ke daftar panjang tugas hari itu.

 

 

Terlalu Banyak Pilihan Justru Bikin Bingung

 

Ironisnya, di era digital sekarang, kita punya terlalu banyak pilihan. Mau makan di luar atau delivery? Pakai GoFood, GrabFood, atau ShopeeFood? Menu Padang, ayam geprek, sushi, atau salad? Semuanya ada di ujung jari, tapi justru itu yang membuat kita makin sulit memilih.

 

Fenomena ini dijelaskan oleh Dr. Barry Schwartz lewat konsep paradox of choice. Ia menjelaskan bahwa ketika seseorang dihadapkan pada terlalu banyak pilihan, orang tersebut akan cenderung lebih sulit membuat keputusan dan merasa kurang puas dengan pilihan yang diambil.

 

Jadi bukan hanya makin bingung, tapi setelah memutuskan pun kita sering merasa kurang puas. Misalnya, setelah pesan ayam geprek, tiba-tiba merasa, “Harusnya tadi pilih soto aja.” Ini yang disebut dengan anticipatory regret, rasa sesal terhadap kemungkinan alternatif yang ditinggalkan.

 

Alih-alih bahagia karena punya banyak pilihan, kita justru lebih stres dan tidak puas karena takut salah pilih. Apalagi kalau makanan yang dipesan ternyata rasanya biasa aja. Rasanya seperti gagal dalam sesuatu yang harusnya sederhana.

 

 

Bosannya Lidah Tapi Nggak Tahu Mau Apa

 

Ada satu kondisi lain yang turut menyumbang kebingungan saat makan siang yakni bosan tapi bingung.

 

Setiap hari makan makanan yang mirip mulai dari nasi, ayam, mie, atau soto sehingga membuat lidah kita jenuh. Tapi ketika mencoba berpikir alternatif, otak malah stuck. Kita tidak bisa memikirkan sesuatu yang baru karena tidak terbiasa eksplorasi.

 

Dalam ilmu neurologi, ini disebut sensorik jenuh yang mana otak sudah tidak tertarik lagi dengan stimulus makanan itu-itu saja, tapi karena pilihan terlalu banyak dan asing, kita kehilangan arah.

 

Akhirnya kembali lagi ke titik awal bingung mau makan apa. Mungkin kamu pernah berharap, “Andai ada orang yang bisa pilihkan makan siang enak dan tepat buatku hari ini.”

 

Tekanan Sosial: Makan Bareng Tapi Nggak Enak Milih Sendiri

 

Masalah memilih makanan juga bisa jadi rumit ketika kamu tidak makan sendirian. Saat makan siang bersama teman kantor, pasangan, atau keluarga, keputusan makan sering kali bukan sepenuhnya milikmu. Harus kompromi, ikut selera mayoritas, atau menyesuaikan dengan anggaran dan waktu orang lain.

 

Fenomena ini disebut konformitas sosial yang mana kita cenderung menyesuaikan diri dengan keputusan kelompok untuk menjaga hubungan tetap harmonis.

 

Sayangnya, ini bisa membuat kita tidak puas dengan apa yang dimakan. Kamu mungkin ingin makanan pedas, tapi mayoritas memilih sushi. Lalu kamu ikut saja, padahal tak sepenuhnya suka. Setelah makan, bukan kenyang yang kamu rasakan, tapi rasa “kurang puas” yang tidak bisa dijelaskan.

 

Konflik antara preferensi pribadi dan tekanan kelompok membuat keputusan makan siang jadi lebih kompleks dari yang terlihat.

 

 

Mood dan Emosi yang Mengacaukan Nafsu Makan

 

Selain faktor kognitif dan sosial, kondisi emosional juga punya andil besar dalam menentukan selera makan. Saat kamu stres, lelah, atau cemas, sistem limbik di otak—bagian yang mengatur emosi ikut memengaruhi area pengambilan keputusan dan pengaturan nafsu makan.

 

Dalam kondisi bad mood, kita jadi kurang antusias terhadap makanan. Sebaliknya, saat terlalu bersemangat atau ingin memanjakan diri, kita bisa jadi terlalu perfeksionis seperti “Pengen makan siang yang benar-benar enak.” Tapi definisi “enak” itu sendiri tidak jelas di kepala.

 

Akhirnya kita terjebak dalam lingkaran berpikir: pengen makan, tapi nggak tahu apa. Semua terasa kurang cocok.

 

Dr. Schwartz, dalam bukunya The Paradox of Choice, menyimpulkan bahwa kebebasan untuk memilih memang penting, tapi terlalu banyak kebebasan justru bisa jadi beban mental.

"Kita percaya bahwa makin banyak pilihan makin baik. Tapi faktanya, makin banyak pilihan, makin besar rasa takut akan penyesalan dan makin tinggi ekspektasi terhadap hasil," kata dia.

 

Inilah mengapa keputusan kecil seperti makan siang bisa terasa berat. Kita khawatir salah pilih, takut kecewa, atau menyesal setelah memilih. Semua itu terjadi di level bawah sadar dan sangat umum dalam masyarakat modern yang penuh pilihan.

 

Schwartz menyarankan agar kita mulai membatasi pilihan, terutama dalam hal-hal sehari-hari yang tidak terlalu krusial. Misalnya, pilih 3 restoran favorit yang bisa dirotasi, atau siapkan menu mingguan agar tidak perlu memikirkan ulang setiap hari.