Kenapa Banyak Pria Takut Diajak Menikah?
- Pixaby
Lifestyle – Menjalani hubungan selama lima tahun atau lebih tentu bukan hal yang mudah terutama bagi perempuan. Tidak dipungkiri bahwa setiap perempuan yang menjalin asmara selama bertahun-tahun selalu bertanya-tanya kapan dia akan menikahi saya?
Pertanyaan ini mungkin pernah terlintas di benak banyak perempuan. Hubungan terasa hangat, penuh cinta, namun setiap kali pembicaraan soal pernikahan muncul, pasangan tiba-tiba terlihat canggung, diam, atau malah menghindar dengan berbagai alasan. Rasanya seperti menyentuh luka yang tak kasat mata.
Tidak sedikit perempuan yang akhirnya mulai mempertanyakan diri sendiri ‘apakah aku terlalu memaksa?’ ‘Apakah dia benar-benar mencintai aku? Atau mungkin, dia hanya menungguku menyerah?’
Faktanya, ketakutan pria terhadap pernikahan bukanlah mitos. Ini adalah realita yang sering terbungkus dalam sikap diam, bercanda, atau bahkan marah-marah yang tak jelas ujungnya. Psikolog menyebut ketakutan ini sebagai bentuk mekanisme perlindungan emosional, dan penyebabnya jauh lebih kompleks daripada sekadar belum mapan.
Artikel ini akan mengupas alasan-alasan mengapa banyak pria takut diajak menikah, dilihat dari sudut pandang psikologi dan budaya, lengkap dengan pendapat para ahli dari institusi ternama dunia. Jika kamu sedang menjalani hubungan yang terasa menggantung, tulisan ini bisa menjadi titik awal untuk memahami—bukan hanya pasanganmu, tapi juga dirimu sendiri.
Pertama-tama yang perlu diketahui bahwa setidaknya ada ketakutan-ketakuan yang tak terlihat dari pria ketika pasangannya membahas tentang pernikahan. Mulai dari takut kehilangan identitas pribadi, takut gagal menjadi suami yang baik hingga pengaruh di masa lalu. Berikut ini penjelasan lengkap secara psikologis terkait dengan hal tersebut.
Takut Kehilangan Identitas Pribadi
Psikolog hubungan dari Harvard Medical School, Dr. Steven Stosny, menjelaskan bahwa banyak pria memandang pernikahan sebagai potensi ancaman terhadap identitas mereka. Bukan karena mereka tidak mencintai pasangannya, tetapi karena mereka takut kehilangan bagian dari diri yang selama ini memberi mereka rasa kendali: waktu sendiri, kebebasan mengambil keputusan, dan ruang untuk berkembang secara personal.
“Pria sering diajarkan bahwa nilai dirinya terletak pada kemandirian dan kekuatannya. Maka, komitmen seperti pernikahan bisa terasa seperti hilangnya kebebasan,” ujar Dr. Stosny.
Takut Gagal Menjadi Suami yang Baik
Bukan rahasia lagi bahwa banyak pria merasa tekanan besar untuk menjadi ‘pemimpin keluarga’. Dalam sesi terapi yang dipimpin oleh Dr. Alexandra Solomon, psikolog klinis dan pengajar di Northwestern University, ditemukan bahwa pria sering mengalami imposter syndrome dalam relasi, yakni merasa tidak cukup baik untuk peran yang dituntut masyarakat dari seorang suami.
“Ketakutan mereka bukan soal cinta, tapi soal ketakutan mengecewakan,” jelas Dr. Solomon.
Pengaruh Trauma Masa Lalu
Pria yang tumbuh dalam keluarga dengan konflik atau perceraian, atau pernah mengalami hubungan yang menyakitkan, lebih rentan merasa skeptis terhadap pernikahan. Dr. Justin Lehmiller, peneliti di Kinsey Institute, menyebut bahwa “trauma relasional” bisa menciptakan emotional block, yang membuat pria merasa tidak aman dalam membayangkan komitmen seumur hidup.
Selain itu, ternyata faktor budaya yang mana ketika masyarakat menekan pria dari segala arah juga memengaruhi kesiapan pria untuk menikah. Beberapa faktor yang dimaksud tersebut antara lain:
Tekanan Finansial Sebagai Hambatan Utama
Dalam banyak budaya, termasuk Indonesia, pernikahan bukan sekadar ikatan cinta. Ia adalah simbol kesiapan ekonomi. Pria dituntut untuk sudah punya rumah, kendaraan, dan penghasilan tetap sebelum menikah. Sebuah laporan dari Pew Research Center tahun 2023 menunjukkan bahwa lebih dari 60 persen pria usia 25–34 tahun di negara berkembang menunda pernikahan karena beban finansial.
Tekanan ini bukan hanya datang dari dalam diri, tapi juga dari ekspektasi sosial dan keluarga. Dan ketika standar itu belum terpenuhi, banyak pria merasa belum pantas melangkah ke jenjang selanjutnya.
Maskulinitas Tradisional yang Menyempitkan Ekspresi Emosi
Budaya yang memuja ‘laki-laki kuat dan tidak boleh menunjukkan ketakutan’ menyebabkan banyak pria menyimpan keraguannya sendiri. Mereka tidak diajarkan untuk membicarakan kecemasan atau rasa tidak siap. Ketimbang mengaku takut, mereka memilih diam, bercanda, atau menjauh.
“Pria diajari untuk menghindari ketidaknyamanan emosional, bukan menghadapinya,” kata Dr. Michael Addis, profesor psikologi di Clark University.
Narasi Negatif Seputar Pernikahan
Tak jarang pernikahan digambarkan dalam lingkaran sosial pria sebagai akhir dari hidup menyenangkan. Dari candaan seperti ‘selamat tinggal kebebasan’ hingga cerita-cerita suram tentang pasangan yang tidak bahagia, semua itu membentuk opini bawah sadar yang menakutkan.
Tanda-Tanda Dia Takut Menikah (Meski Tidak Pernah Mengatakannya)
Mengenali ketakutan ini bisa membantu kita lebih memahami, alih-alih menyalahkan. Berikut beberapa tanda umum pria takut menikah:
- Selalu menghindar saat diajak bicara soal masa depan
- Tidak pernah melibatkanmu dalam rencana jangka panjang
- Memberi jawaban “nanti” tanpa kepastian waktu
- Terlihat frustrasi atau defensif saat kamu berbicara soal komitmen
- Sering menyalahkan kondisi eksternal: karier, keluarga, atau keadaan ekonomi
Apa yang Bisa Dilakukan?
Coba validasi emosi, tapi jangan mengabaikan harapanmu. Menurut Dr. Solomon, komunikasi empatik adalah kunci. Dengarkan ketakutannya, beri ruang untuk ia bercerita, tapi tetap sampaikan apa yang kamu butuhkan dari hubungan itu. Jangan mengorbankan prinsipmu demi menjaga suasana.
Penting juga untuk mengajaknya diskusi, pastikan diskusi tersebut tidak mengarah pada mengultimatum pasangan. Kamu bisa menggunakan pertanyaan yang membangun dialog, seperti “Apa sih yang membuatmu belum yakin dengan pernikahan?” dan Bukan “Kapan kamu siap menikah?”
Pertanyaan yang terbuka memberi ruang aman untuk diskusi, bukan konfrontasi.
Namun jika pada akhirnya pasangan terus-menerus menunda tanpa arah, kamu perlu mengevaluasi. Apakah dia benar-benar sedang menghadapi ketakutan yang bisa disembuhkan, atau hanya tidak ingin menikah sejak awal?
Psikolog menyarankan untuk jangan bertahan dalam ketidakpastian yang panjang hanya karena takut kehilangan. Hidupmu layak dijalani penuh makna, dengan atau tanpa pernikahan dari dia.
Ketakutan pria terhadap pernikahan bukanlah bentuk pengkhianatan, tapi seringkali sinyal bahwa ada luka, tekanan, atau bayangan masa depan yang belum siap mereka hadapi.
Sebagai pasangan, kita bisa memilih untuk menjadi jembatan menuju pemahaman, atau melindungi diri dari relasi yang tidak jelas arahnya. Pilihannya tidak mudah, tapi pemahaman akan memberi kekuatan. Karena cinta saja tidak cukup. Dibutuhkan keberanian, komunikasi, dan kesiapan emosional untuk membangun kehidupan bersama.