Kenapa Belakangan Ini Lebih Banyak Perempuan yang Mengajukan Gugatan Cerai?

Ilustrasi cerai
Sumber :
  • Freepik

Lifestyle –Keputusan untuk mengakhiri pernikahan bukan hal yang mudah. Ada banyak pertimbangan bagi setiap pasangan untuk akhirnya mantap mengajukan gugatan cerai ke pengadilan. 

Namun, ketika harus memulai perpisahan, ada pola yang jelas tentang siapa yang membuat keputusan akhir. Dalam hubungan rumah tangga ditemukan perempuan menjadi katalisator perceraian dalam proporsi yang cukup besar. 

Meski data spesifik mengenai jumlah perempuan yang mengajukan gugatan cerai ke pengadilan agama tidak tersedia secara langsung. Namun data dari Badan Pusat Statistik menunjukkan kasus cerai gugat (yang diajukan perempuan) adalah jenis perceraian yang paling banyak. Seperti pada tahun 2024 dimana jumlah asus cerai gugat di beberapa provinsi sebut saja Riau, Jambi, Sumatera Selatan dan Bengkulu lebih tinggi daripada cerai talak (yang diajukan laki-laki).

Namun, mengapa perempuan lebih banyak memilih untuk bercerai? Bagi sebagian orang, jawabannya terletak pada bagaimana pasangan memenuhi atau tidak memenuhi kebutuhan emosional mereka dalam pernikahan. Namun, bagi yang lain, situasinya lebih rumit dan mungkin ada lebih banyak nuansa dalam statistik ini daripada yang terlihat.

Melansir laman BBC.com, seorang psikolog dan pakar kekerasan dalam rumah tangga di Pusat Pengembangan Pendidikan yang berpusat di AS, bukanlah suatu kebetulan bahwa maraknya perceraian bertepatan dengan pembebasan perempuan.

"Karena kemandirian ekonomi merupakan keharusan sebelum seorang perempuan dapat mencoba meninggalkan pernikahan, baik sendirian maupun dengan anak-anak yang harus dibiayai, sangat sulit bagi perempuan untuk meninggalkan pernikahan kecuali mereka memiliki cara untuk menghasilkan uang sendiri," ujarnya.

Selain itu, karena peran gender menjadi lebih rumit seiring perempuan mulai mencapai kemandirian finansial , lebih banyak konflik dalam pernikahan pun muncul secara alami.

Dengan kata lain, masuknya perempuan ke dalam dunia kerja memungkinkan mereka meninggalkan pernikahan yang tidak bahagia untuk pertama kalinya. Mereka tidak lagi terikat secara finansial untuk tetap berada dalam hubungan yang kasar di mana kebutuhan mereka tidak terpenuhi, dan dengan demikian perempuan mulai mengajukan perceraian dalam skala yang lebih besar.

"Di berbagai budaya dan geografi, perempuan yang secara ekonomi mampu mengurus diri sendiri… lebih mungkin untuk memulai perceraian," kata Heidi Kar.

Hal ini juga membantu menjelaskan mengapa perempuan dengan pendidikan universitas jauh lebih mungkin mengakhiri pernikahan. 

"Di berbagai budaya dan geografi, perempuan yang secara ekonomi mampu mengurus diri sendiri yang biasanya terkait dengan tingkat pendidikan tinggi lebih mungkin mengajukan perceraian daripada perempuan yang tidak mampu secara ekonomi menghidupi diri sendiri dan anak-anak mereka," tambah Kar.

Faktor emosional dan sosial

Namun, peningkatan kemandirian ekonomi saja tidak menjelaskan mengapa perempuan menjadi lebih mungkin mengajukan perceraian dibandingkan suami mereka. Namun, persentase perempuan yang mengajukan perceraian terus meningkat dan alasannya beragam misalnya saja ekspektasi.

Bagi banyak perempuan, ekspektasi yang mereka miliki saat menikah mungkin tidak sesuai dengan kenyataan. Para ahli mengatakan bahwa perempuan seringkali memiliki ekspektasi yang lebih tinggi tentang bagaimana pasangan mereka akan memenuhi kebutuhan emosional mereka, yang dapat menyebabkan kekecewaan pasca-pernikahan.

Terapis pasangan berlisensi yang berbasis di Florida, AS, yang mengkhususkan diri dalam resolusi konflik, Gilza Fort-Martinez mengatakan karena pria biasanya disosialisasikan memiliki kecerdasan emosional yang lebih rendah daripada wanita, hal ini dapat menyebabkan pasangannya merasa tidak didukung dan melakukan banyak pekerjaan emosional dalam hubungan.

Kecerdasan emosional ini juga berarti perempuan lebih peka terhadap masalah dan 'tanda bahaya' dalam hubungan, dan kecenderungan mereka untuk menjadi komunikator dan empati utama berarti mereka juga bisa menjadi yang pertama mengangkat masalah yang pada akhirnya dapat mengakibatkan perpisahan atau perceraian.

Perempuan juga cenderung mendapatkan lebih sedikit manfaat emosional dari pernikahan, yang mungkin membuat kehidupan lajang terasa lebih menarik. Meskipun pria yang menikah merasakan banyak keuntungan perempuan biasanya tidak mendapatkan manfaat yang sama dari hubungan mereka. Sebaliknya, mereka menanggung beban pekerjaan rumah tangga dan mengasuh anak, yang dapat membuat perempuan pekerja kewalahan dan stres, kata Fort-Martinez.

Perempuan juga cenderung memiliki lebih banyak teman dekat daripada laki-laki, yang berarti mereka memiliki sistem pendukung yang lebih baik, baik untuk membahas masalah pernikahan maupun untuk memudahkan transisi kembali ke kehidupan lajang. Ada kemungkinan juga bahwa pertemanan ini membuat perceraian tampak lebih masuk akal, sebuah penelitian menunjukkan bahwa jika seorang teman dekat bercerai, peluang seseorang untuk bercerai meningkat sebesar 75 persen.

Ditambah lagi fakta bahwa perempuan mendapatkan hak asuh utama atas anak-anak dalam sebagian besar kasus perceraian, membuat perempuan mungkin merasa lebih sedikit kerugian ketika mengajukan gugatan cerai dibandingkan laki-laki. Dalam beberapa hal, mereka benar bukti menunjukkan bahwa kesejahteraan pria cenderung menurun jauh lebih drastis segera setelah perceraian.

Namun kenyataannya, efek ini seumur jagung. Dalam jangka pendek setelah perceraian, kesejahteraan pria secara keseluruhan menurun lebih drastis, dan mereka melaporkan tingkat kesepian yang lebih tinggi, kata Kar. 

"Namun seiring waktu, hal itu akan mereda, dan perempuan terus menderita efek jangka panjang yang lebih kronis, termasuk hilangnya kepemilikan rumah, berkurangnya kemampuan finansial, dan meningkatnya stres akibat kehidupan sebagai orang tua tunggal," sambung Kar.

Namun, hal ini bukan berarti para perempuan memiliki lebih banyak penyesalan. Terlepas dari sisi negatifnya, hanya 27 persen perempuan yang mengaku menyesal bercerai, dibandingkan dengan 39 persen laki-laki. Hal ini menunjukkan bahwa bagi sebagian besar perempuan, kesulitan akibat perceraian lebih baik daripada bertahan dalam pernikahan yang tidak bahagia.