Kenapa Banyak Orang Tidak Tenang Setelah Menikah?
- AI
Lifestyle –Pernikahan sering dipandang sebagai tujuan akhir dalam hidup, tempat seseorang akan menemukan cinta, keamanan, dan ketenangan. Tidak sedikit orang yang masuk ke pelaminan dengan keyakinan bahwa semua keresahan akan sirna begitu cincin melingkar di jari.
Namun, kenyataannya jauh lebih rumit. Banyak pasangan justru merasa lebih tertekan, gelisah, bahkan kehilangan jati diri setelah menikah. Mengapa hal ini bisa terjadi?
Jawabannya tidak sesederhana karena menikah dengan orang yang salah. Pernikahan modern datang dengan harapan yang jauh lebih besar dibanding generasi sebelumnya. Beban ekspektasi, kurangnya komunikasi, perbedaan tujuan hidup, hingga luka emosional yang tidak disadari bisa menjadi pemicu.
Psikoterapis terkenal, Esther Perel, memberikan wawasan penting tentang mengapa banyak orang merasa tidak tenang dalam pernikahan dan bagaimana cara menghadapinya.Mari kita bedah satu persatu.
Ekspektasi yang Tinggi dan Realitas yang Berbeda
Di masa lalu, pernikahan dilihat sebagai institusi ekonomi dan sosial. Pasangan menikah demi keamanan finansial, memiliki keturunan, dan status sosial yang stabil. Namun, kini pernikahan diharapkan memberi jauh lebih banyak.
“Pernikahan dulu adalah institusi ekonomi yang memberi kemitraan seumur hidup. Tapi sekarang, kita tetap menginginkan itu semua, ditambah pasangan yang menjadi sahabat terbaik, pendengar setia, sekaligus kekasih penuh gairah dan kita hidup dua kali lebih lama dari sebelumnya,” kata dia.
Ekspektasi sebesar ini membuat pasangan sering kali merasa kewalahan. Saat pasangan tidak mampu memenuhi semua peran itu, rasa kecewa dan kegelisahan pun muncul.
Selain itu, Esther Perel menekankan bahwa salah satu sumber utama kegelisahan dalam pernikahan modern adalah beban ekspektasi.
“Kita hancur di bawah beratnya ekspektasi. Kita ingin pasangan memberi rasa aman sekaligus rasa petualangan, sesuatu yang pasti sekaligus sesuatu yang tak terduga. Namun ketika salah satunya hilang, kita merasa ada yang salah dengan pernikahan itu,” kata dia.
Dengan kata lain, ketidaktenangan dalam rumah tangga sering kali bukan karena pasangan tidak cukup baik, melainkan karena kita menuntut sesuatu yang nyaris mustahil dari satu orang.
Komunikasi yang Buruk: Bukan Sekadar Bicara
Banyak pasangan tidak menemukan ketenangan karena komunikasi yang buruk. Masalahnya bukan hanya kurangnya percakapan, melainkan bagaimana pesan disampaikan dan diterima. Kata-kata yang dimaksudkan sebagai keluhan bisa terdengar seperti serangan, sementara diam bisa ditafsirkan sebagai penolakan.
Penelitian menunjukkan bahwa gaya komunikasi sebelum menikah dapat memengaruhi masa depan rumah tangga. Studi berjudul The Premarital Communication Roots of Marital Distress and Divorce menegaskan bahwa pola komunikasi negatif yang tidak terselesaikan sejak awal bisa menjadi akar masalah dalam lima tahun pertama pernikahan.
Psikolog John Gottman bahkan menemukan rasio ajaib, yang mana hubungan sehat biasanya memiliki 5 interaksi positif untuk setiap 1 interaksi negatif, bahkan saat konflik. Tanpa keseimbangan ini, ketenangan sulit tercapai.
Kurangnya Ruang Diri Sendiri
Setelah menikah, banyak orang merasa kehilangan ruang pribadi. Rutinitas rumah tangga, tuntutan pasangan, dan peran sebagai orang tua sering kali membuat identitas diri memudar.
Esther Perel menyebut bahwa dalam masyarakat modern, kita menuntut satu orang untuk memenuhi semua kebutuhan emosional, bahkan yang sebelumnya disediakan oleh komunitas luas. Itu berarti, pasangan diharapkan bisa menjadi rumah yang nyaman sekaligus tempat petualangan. Perpaduan antara kebutuhan akan keamanan dan kebutuhan akan kejutan inilah yang sering menimbulkan konflik batin.
Ketika seseorang merasa tidak punya ruang untuk dirinya sendiri, pernikahan bukan lagi sumber ketenangan, melainkan penjara emosional.
Perbedaan Nilai dan Tujuan Hidup
Tidak sedikit pasangan yang menikah tanpa membicarakan hal-hal mendasar: bagaimana mengatur keuangan, cara mendidik anak, prioritas karier, atau bahkan prinsip spiritual. Saat perbedaan ini baru muncul setelah menikah, pertengkaran menjadi tak terhindarkan.
Ketidakselarasan visi hidup bisa membuat rumah tangga terasa seperti arena tarik-menarik, bukan tempat berbagi ketenangan.
Luka Emosional dan Trauma Masa Lalu
Banyak orang masuk ke dalam pernikahan dengan membawa luka emosional yang belum sembuh: pengalaman masa kecil yang penuh konflik, hubungan sebelumnya yang traumatis, atau rasa tidak aman dalam diri.
Alih-alih menemukan penyembuhan, mereka berharap pasangan akan menjadi ’obat’. Sayangnya, luka batin yang tidak diolah justru membuat seseorang lebih mudah bereaksi berlebihan terhadap konflik kecil. Alhasil, pernikahan terasa penuh ketegangan.
Kurangnya Intimasi Emosional dan Fisik
Intimasi adalah fondasi penting dalam pernikahan, bukan hanya dalam bentuk seksual tetapi juga emosional. Merasa dicintai, dihargai, dan dipahami adalah kebutuhan dasar yang membuat hati tenang.
Ketika pasangan terlalu sibuk dengan pekerjaan, anak, atau urusan rumah tangga, intimasi bisa memudar. Rumah menjadi tempat tinggal bersama, bukan lagi tempat berbagi jiwa. Kekosongan ini bisa memunculkan rasa hampa, kesepian, dan kehilangan ketenangan.