Kenapa Rasa ‘Kurang’ Selalu Ada Meski Dompet Menipis? Begini Penjelasan Psikolog
- Freepik
Lifestyle –Pernah merasa baru saja belanja, tapi tiba-tiba ingin belanja lagi? Atau dompet sudah tipis, namun begitu ada promo atau flash sale, jari terasa gatal untuk klik beli sekarang?
Fenomena ini kerap disebut dengan haus belanja, yakni perasaan tidak pernah cukup, selalu ingin membeli sesuatu, meski kondisi finansial sedang sulit.
Pertanyaannya, kenapa hal ini bisa terjadi? Jawabannya ada pada cara kerja otak, khususnya peran dopamine dan kecenderungan manusia untuk mencari kepuasan instan (instant gratification).
Dopamine: Zat Kimia Kebahagiaan di Otak
Dopamine adalah zat kimia di otak yang berfungsi sebagai neurotransmitter, mengirimkan sinyal rasa senang atau reward setiap kali kita melakukan sesuatu yang menyenangkan. Misalnya, makan makanan favorit, mendapat pujian, atau membeli barang baru.
Ketika kita belanja, otak melepaskan dopamine, yang membuat kita merasa puas dan bahagia sesaat. Masalahnya, rasa puas ini cepat hilang. Begitu efeknya mereda, otak seperti menagih lagi, mendorong kita ingin membeli hal lain agar sensasi senang itu kembali muncul.
Instant Gratification dalam Belanja
Instant gratification adalah kecenderungan untuk memilih kepuasan cepat ketimbang menunggu hasil jangka panjang. Dalam konteks belanja, ini terlihat jelas.
- Diskon “hanya hari ini”,
- Flash sale lima menit,
- Promo “beli satu gratis satu”,
semuanya didesain untuk memicu otak agar merasa harus segera bertindak. Belanja online bahkan membuat semuanya lebih mudah. Tinggal klik, tinggal bayar, barang segera sampai. Sensasi cepat ini memperkuat siklus dopamine yang membuat kita makin sulit menahan diri.
Kenapa Rasa ‘Kurang’ Selalu Ada
Meski dompet menipis, rasa ingin belanja terus muncul. Ada beberapa alasannya:
- Belanja sebagai pelarian emosi. Saat stres, cemas, atau merasa kurang percaya diri, belanja jadi “obat sementara” untuk memperbaiki mood.
- Ledakan dopamine yang cepat hilang. Setelah membeli barang baru, rasa puas muncul sebentar, lalu hilang. Otak pun mencari cara untuk mengulanginya.
- Perbandingan sosial. Media sosial membuat kita melihat orang lain pamer barang baru, dan otak menafsirkan bahwa kita juga harus punya agar tidak ketinggalan.
Inilah sebabnya, meski uang terbatas, dorongan belanja bisa terasa begitu kuat.
Di sisi lain, fenomena ini bukan sekadar alasan. Ada bukti ilmiah bahwa belanja memang bisa mengaktifkan sistem reward di otak.
Dalam wawancara dengan Scientific American, peneliti menjelaskan, pemindaian otak menunjukkan bahwa kegiatan belanja dapat mengaktifkan sistem reward dopamin. Artinya, saat kita melihat barang yang menarik atau melakukan pembelian, otak mengirimkan sinyal seolah kita baru saja menerima hadiah.
Peneliti Patrick Trotzke dari Charlotte Fresenius University di Jerman bahkan menemukan bahwa pada orang dengan kecenderungan belanja kompulsif, hanya melihat gambar barang atau pusat perbelanjaan saja sudah cukup untuk memicu pelepasan dopamine mirip dengan respons otak pada orang yang mengalami kecanduan zat tertentu.
Dengan kata lain, dorongan belanja bukan hanya soal “kurang bisa menahan diri”. Ada mekanisme neurologis yang membuat belanja terasa sangat memuaskan, meski hanya sesaat.
Dampak Negatif dari Haus Belanja
Kalau dibiarkan, kebiasaan ini bisa merugikan banyak aspek kehidupan.
- Finansial: tabungan terkuras, muncul utang kartu kredit, bahkan bisa merusak rencana masa depan.
- Psikologis: rasa bersalah setelah belanja, stres karena menumpuk barang yang tidak dibutuhkan.
- Sosial: konflik dengan pasangan atau keluarga karena pengeluaran tidak terkendali.
Belanja memang menyenangkan, tapi ketika jadi pelarian terus-menerus, efeknya lebih banyak buruk daripada baik.
Strategi Mengendalikan Haus Belanja
Kabar baiknya, perilaku ini bisa dikendalikan. Berikut beberapa cara yang disarankan para ahli:
- Tunda sebelum membeli. Terapkan aturan 24 jam: jika ingin membeli sesuatu, tunggu sehari. Sering kali keinginan itu hilang dengan sendirinya.
- Buat anggaran jelas. Pisahkan dana kebutuhan pokok dan dana keinginan. Jika dana keinginan habis, berhenti belanja.
- Kurangi paparan iklan. Unsubscribe dari email promo, batasi scrolling marketplace, dan kurangi waktu di media sosial.
- Cari reward alternatif. Ganti sensasi belanja dengan aktivitas lain yang juga memicu dopamine secara sehat: olahraga, mendengarkan musik, atau berkarya.
- Sadari pola belanja. Catat semua pengeluaran, lalu refleksi: apakah pembelian benar-benar kebutuhan atau hanya pelampiasan mood?