Dimarahi Atasan Demi Kebaikan? Benarkah Efektif atau Cuma Alibi?
- Freepik
Lifestyle –Di banyak kantor, kalimat saya marah demi kebaikan kamu sudah seperti mantra. Atasan meledak, membentak, bahkan mempermalukan bawahan di depan tim, lalu menutup dengan dalih itu semua dilakukan agar kinerja meningkat. Sekilas masuk akal bukankah teguran keras bisa bikin orang sadar?
Namun, riset justru menunjukkan sebaliknya. Marah-marah bukan hanya tidak efektif, tapi juga bisa merusak motivasi, menurunkan produktivitas, hingga membuat tim bekerja dalam ketakutan. Menurut profesor kepemimpinan dari Harvard Business School, Amy C. Edmondson, yang terpenting dalam kinerja tim bukan rasa takut, melainkan psychological safety atau rasa aman psikologis.
Edmondson mendefinisikan psychological safety sebagai keyakinan bahwa lingkungan kerja aman untuk mengambil risiko dalam hubungan antarpribadi. Artinya, anggota tim merasa aman untuk berbicara, bertanya, bahkan mengakui kesalahan tanpa takut dipermalukan.
Konsep ini penting karena perusahaan yang sukses biasanya penuh percakapan jujur. Tim yang merasa aman lebih berani menyampaikan ide, mengungkap masalah sejak dini, dan belajar lebih cepat. Sebaliknya, di budaya penuh bentakan, bawahan memilih diam—takut salah ucap, takut disalahkan. Hasilnya? Inovasi mandek, masalah menumpuk.
Tegas vs Tukang Marah: Garis Tipis yang Sering Disalahpahami
Banyak atasan mengira marah adalah bentuk ketegasan. Padahal keduanya berbeda:
- Tegas: fokus pada perilaku dan proses, bukan pribadi. Umpan balik jelas, berbasis data, dan disampaikan dengan tujuan perbaikan.
- Tukang marah: menyerang personal, mempermalukan, atau menggunakan nada tinggi tanpa solusi.