Kenapa Saat Orang di Bawah Berubah Jadi Angkuh Setelah Sukses?
- Freepik
Lifestyle –Kita semua pernah melihatnya seorang teman lama yang dulu sederhana, bersahaja, dan apa adanya, tiba-tiba berubah sikap ketika hidupnya naik kelas. Dulu akrab, sekarang canggung.
Dulu membumi, sekarang seperti melayang tinggi. Kesuksesan tampaknya mengubah mereka menjadi sosok yang jauh berbeda menjadi lebih tertutup, lebih arogan, bahkan kadang merendahkan orang lain.
Mengapa perubahan ini begitu umum? Apakah kekayaan, jabatan, atau pencapaian otomatis membuat seseorang jadi sombong? Atau ada proses psikologis yang lebih dalam yang mendorong seseorang untuk memproyeksikan superioritas ketika akhirnya merasa berhasil?
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa perubahan status sosial dan ekonomi memang bisa membawa dampak signifikan terhadap perilaku. Artikel ini akan mengupas alasan di balik fenomena tersebut, dengan pandangan psikolog yang berpengalaman di bidangnya.
Fenomena ‘naik kelas lalu lupa daratan’ bukan hal baru. Kita menemukannya di berbagai konteks dalam lingkup pertemanan, hubungan keluarga, hingga lingkungan kerja. Seseorang yang dulu satu kelas dengan kita, setelah sukses finansial atau karier, mendadak menjaga jarak.
Mereka tak lagi membalas pesan, mulai bicara dengan nada merendahkan, dan tampak lebih sibuk memamerkan pencapaian daripada menjaga hubungan emosional.
Sebagian dari mereka bahkan merendahkan orang-orang yang masih berjuang, seolah-olah kesuksesan adalah hasil kerja keras mutlak tanpa mempertimbangkan faktor lain seperti keberuntungan atau privilege.
Tapi apa benar mereka sombong karena merasa lebih baik? Atau justru karena menyimpan luka yang belum sembuh?
Menurut seorang psikolog klinis dan profesor di California State University, Dr. Ramani Durvasula , banyak orang yang pernah merasa direndahkan atau tidak dihargai, akan menunjukkan perubahan kepribadian setelah berhasil.
“Ketika seseorang yang pernah merasa tidak berharga atau diremehkan akhirnya berhasil, dia bisa mengalami kompensasi berlebihan. Ini adalah cara psikis untuk mengatasi rasa sakit lama dengan membuktikan bahwa dirinya ‘lebih baik’ sekarang,” kata dia.
Apa yang dikatakan Dr. Ramani menjelaskan banyak fenomena sosial yang kita saksikan. Saat seseorang menjalani masa sulit dalam hidup miskin, dibully, diremehkan dia menyimpan luka psikologis yang dalam. Ketika sukses datang, luka itu tak langsung sembuh. Sebaliknya, dia merasa perlu menunjukkan perubahan itu secara ekstrem, agar tidak kembali dianggap rendah.
Validasi menjadi kebutuhan utama dan ketika validasi tak didapat secara sehat, muncullah sikap arogan sebagai bentuk pertahanan diri.
Balas Dendam Psikologis dan “Dendam Status”
Kesombongan bisa juga menjadi bentuk balas dendam diam-diam. Dalam psikologi, ini dikenal sebagai status resentment atau dendam status. Mereka yang dulunya merasa berada di posisi sosial paling bawah, ketika akhirnya naik, akan merasa berhak memandang ke bawah mereka yang belum naik kelas.
Sikap ini bisa jadi tidak disadari. Tapi dalam praktiknya, terlihat dari kebiasaan membandingkan, pamer, dan merendahkan yang sebenarnya merupakan refleksi dari masa lalu yang belum tuntas.
Ketidaksiapan Mental Menghadapi Perubahan Status
Kesuksesan mendadak bisa mengejutkan secara emosional. Banyak orang mengejar pencapaian materi atau status sosial tanpa menyiapkan mental mereka untuk menghadapinya. Ketika tiba-tiba punya uang, jabatan, atau pengaruh, muncul semacam disorientasi kepribadian dimana mereka belum benar-benar mengenal siapa diri mereka yang sekarang.
Lantaran tidak siap, mereka mencari arah baru dalam identitas sosial menjadi lebih tinggi dari yang lain agar aman dari penilaian dan ancaman. Fenomena ini mirip dengan seseorang yang baru belajar berenang lalu langsung nyemplung ke kolam dalam. Daripada panik, dia akan berpura-pura bisa mengapung, padahal dalam hatinya masih ketakutan tenggelam.
Lingkungan Baru yang Mendorong Perubahan Sikap
Lingkungan sosial juga berperan besar. Saat seseorang mulai berada di lingkaran elit seperti orang kaya, berpendidikan tinggi, atau berkuasa mereka sering merasa perlu beradaptasi agar diterima. Dalam banyak kasus, ini berarti meninggalkan cara-cara lama dalam bersosialisasi dan mulai menunjukkan gaya hidup yang lebih eksklusif.
Masalahnya, dalam proses adaptasi ini, mereka mungkin mulai melihat relasi lama sebagai beban atau tidak selevel. Akibatnya, terjadi pemutusan hubungan secara emosional dan sosial yang disalahartikan sebagai kesombongan.