Kenapa Karyawan Sering Ngumpat Diam-Diam Kalau Bosnya Nyebelin? Ini Penjelasan Psikologisnya
- Freepik
Lifestyle –Hampir semua orang pernah bekerja dengan bos yang menyebalkan. Entah karena terlalu perfeksionis, suka marah-marah, atau gemar mengklaim hasil kerja tim, karyawan sering merasa frustrasi.
Salah satu bentuk pelampiasannya? Ngumpat diam-diam. Ada yang mengeluh di hati, ada yang bisik-bisik dengan rekan kerja, bahkan ada yang meluapkan emosinya di grup chat pribadi.
Meski terlihat sepele, perilaku ini sebenarnya punya dasar psikologis yang kuat. Mengumpat atau venting bisa jadi cara karyawan melepaskan tekanan emosional ketika mereka merasa tidak punya ruang untuk berbicara terbuka.
Namun, apakah cara ini benar-benar efektif? Mari bahas satu-persatu.
Dasar Psikologis dari Mengumpat
- Mekanisme pelepasan emosi (catharsis)
Dalam psikologi, venting atau mengungkapkan emosi negatif sering disebut sebagai catharsis. Secara teori, melampiaskan perasaan bisa memberikan kelegaan instan. Saat mengumpat, tubuh melepaskan ketegangan yang tertahan, membuat seseorang merasa lebih lega sementara. - Mengurangi beban dengan “pura-pura lega”
Menahan emosi atau expressive suppression terbukti meningkatkan tekanan darah dan kadar stres. Dengan mengumpat dalam hati atau berbicara diam-diam dengan rekan, karyawan merasa sedang melakukan self-protection, mencegah emosi meledak di hadapan bos. - Validasi dan penguatan ego
Mengeluh bersama rekan kerja juga bisa memberi rasa validasi: “Oh, ternyata bukan cuma aku yang merasa begini.” Ini memperkuat ego dan membuat karyawan merasa punya sekutu.
Mengumpat ke Rekan Bikin Lega atau Malah Memperburuk?
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Jessica Rodell, Associate Professor Manajemen di University of Georgia, menemukan bahwa mengeluh bersama rekan kerja justru bisa memperburuk keadaan.
Dalam penelitiannya, Rodell menjelaskan bahwa kita biasanya menganggap mendengarkan itu baik… tapi hanya mendengarkan bisa memperkuat pandangan negatif dan membuat orang terus memikirkan pengalaman buruk tersebut.
Artinya, semakin sering kita mengumpat atau mengeluh pada rekan kerja, semakin besar kemungkinan kita larut dalam emosi negatif. Alih-alih membantu, perilaku ini justru bisa membuat kita semakin marah dan sulit memaafkan bos yang dianggap menyebalkan.
Dampak Mengumpat terhadap Kesehatan Mental
- Emosi negatif bertahan lebih lama
Terlalu sering venting membuat pikiran terus terfokus pada hal-hal yang membuat stres. Ini bisa meningkatkan hormon kortisol yang memicu kecemasan, gangguan tidur, dan penurunan energi. - Lingkungan kerja yang lebih toksik
Keluhan yang berulang menciptakan suasana negatif di kantor. Rekan kerja bisa saling terpengaruh, sehingga rasa lelah emosional menyebar ke seluruh tim. - Munculnya disonansi emosional
Ketika karyawan harus tetap tersenyum di depan bos padahal kesal di dalam hati, ini menciptakan emotional dissonance. Dalam jangka panjang, kondisi ini bisa memicu burnout, keluhan psikosomatik, dan bahkan keinginan untuk resign.
Hubungan dengan Bos Toksik
Fenomena ini biasanya makin kuat ketika karyawan menghadapi bos yang toksik, pemimpin yang sering merendahkan, terlalu mengontrol, atau menciptakan ketakutan di tempat kerja.
Dalam situasi seperti ini, karyawan merasa tidak punya ruang untuk mengutarakan keluhan secara terbuka sehingga mereka memilih mengumpat diam-diam sebagai pelampiasan.
Sayangnya, strategi ini hanya memberi efek lega sementara. Penelitian menunjukkan bahwa karyawan yang bekerja di bawah bos toksik lebih rentan mengalami depresi, kehilangan motivasi, dan memiliki risiko tinggi untuk meninggalkan perusahaan.
Risiko Jangka Panjang
- Rumination atau overthinking: terus memikirkan perilaku bos membuat stres sulit hilang.
- Produktivitas menurun: energi terkuras untuk mengeluh, bukan bekerja.
- Hubungan antar-rekan terganggu: gosip dan keluhan berlebihan bisa memecah kepercayaan tim.
- Perilaku devian: frustrasi yang tidak tersalurkan bisa berubah menjadi sabotase kecil-kecilan atau perilaku merugikan lainnya.
Bagaimana Mengatasinya?
- Alihkan venting ke saluran yang lebih sehat
Daripada mengumpat terus-menerus, coba tulis semua kekesalanmu di jurnal. Expressive writing terbukti membantu menyalurkan emosi dengan cara yang aman. - Cari solusi, bukan sekadar keluhan
Jika perlu berbicara dengan rekan kerja, coba arahkan percakapan pada solusi. Misalnya, bagaimana cara menyampaikan masukan ke bos tanpa memicu konflik. - Reframing bersama pendengar
Kalau mendengarkan keluhan rekan, jangan hanya ikut mengompori. Bantu mereka melihat sisi lain dari situasi tersebut agar emosi negatif tidak semakin membesar. - Bangun budaya psychological safety
Perusahaan perlu menciptakan lingkungan di mana karyawan merasa aman menyampaikan pendapat atau kritik. Tanpa hal ini, keluhan diam-diam akan terus berulang. - Pelajari teknik manajemen emosi
Mindfulness, meditasi, atau sekadar jeda sejenak untuk menarik napas dalam bisa membantu mengurangi stres sebelum emosi meledak.