Konflik Rumah Tangga Semakin Parah Sejak Punya Anak? Mari Cari Tau Solusinya
- iStock
Lifestyle –“Dulu kita romantis banget, tapi sejak punya anak, kok jadi sering adu argumen ya?” Kalimat ini bukan hanya keluar dari satu dua pasangan. Banyak suami istri yang merasa hubungan mereka berubah drastis sejak menjadi orang tua.
Padahal, kehadiran anak seharusnya menjadi momen bahagia. Tapi realitanya? Tak sedikit pasangan justru merasa semakin sering bertengkar, saling menjauh, bahkan mempertanyakan hubungan mereka. Apakah ini normal? Atau ada yang salah?
Untuk menjawab ini, kita akan mengulas penjelasan dari Dr. John Gottman, profesor psikologi dari University of Washington dan pendiri Gottman Institute, yang telah meneliti lebih dari 3.000 pasangan selama 40 tahun
Menurut Gottman, sekitar 67% pasangan melaporkan penurunan kepuasan hubungan dalam tiga tahun pertama setelah anak pertama lahir. Artinya, dua dari tiga pasangan mengalami masa sulit yang cukup signifikan di masa transisi menjadi orang tua. Mengapa ini bisa terjadi?
1. Perubahan Peran yang Drastis
Ketika bayi lahir, peran sebagai pasangan sering bergeser menjadi "rekan kerja dalam pengasuhan anak". Kegiatan romantis tergantikan dengan tugas menggendong, menyusui, mengganti popok, dan begadang. Banyak pasangan merasa kelelahan fisik dan mental, lalu melampiaskan frustrasi ke pasangannya.
“Banyak pasangan tidak siap menghadapi kehilangan waktu berkualitas bersama. Mereka cenderung lebih mudah tersinggung dan kehilangan empati satu sama lain,” kata Gottman menjelaskan.
2. Ketidakseimbangan Beban
Biasanya, salah satu pasangan (sering kali istri) merasa beban pengasuhan lebih berat di pundaknya. Sementara pasangan lain mungkin merasa tidak dihargai meskipun sudah membantu. Ketimpangan ini menciptakan rasa tidak adil yang mudah memicu konflik.
3. Penurunan Frekuensi Hubungan Intim
Kelelahan, perubahan hormon, dan kurangnya privasi setelah punya anak sering menyebabkan hubungan intim jadi jarang. Sayangnya, topik ini sering tidak dibicarakan secara terbuka.
“Pasangan cenderung saling menebak-nebak dan menyalahkan, daripada mendiskusikan kebutuhan masing-masing secara jujur,” jelas Gottman.
4. Kurangnya Waktu Berkualitas
Waktu pacaran yang dulu mudah dilakukan, kini menjadi kemewahan. Jika tak disiasati, hubungan akan terasa datar dan hambar. Pasangan hanya menjadi 'rekan satu rumah' tanpa koneksi emosional yang mendalam.
Apakah Semua Pasangan Akan Mengalami Ini?
Tidak semua. Pasangan yang mampu membangun komunikasi sehat dan tetap menjaga koneksi emosional akan lebih tahan menghadapi masa transisi menjadi orang tua.
Penelitian Gottman menunjukkan bahwa pasangan yang tetap “turn toward each other” (saling mendekat secara emosional) lebih mungkin mempertahankan hubungan bahagia, dibanding yang saling menghindar atau menyerang dalam konflik.
Tanda Konflik Rumah Tangga Mulai Berbahaya
Gottman menyebut ada “4 Penunggang Kuda Kehancuran Rumah Tangga” (The Four Horsemen) yang bisa merusak hubungan secara perlahan:
- Kritik berlebihan – Menyerang kepribadian pasangan, bukan perilakunya.
- Sikap defensif – Selalu membela diri tanpa mendengarkan keluhan pasangan.
- Menghina (contempt) – Meremehkan, menyindir, atau menghina pasangan. Ini yang paling beracun.
- Menarik diri (stonewalling) – Diam seribu bahasa, mematikan komunikasi.
Jika empat pola ini muncul secara berulang, itu tanda hubungan sedang berada di zona merah.
Solusi: Bagaimana Mengelola Konflik Setelah Punya Anak?
1. Bangun “Ritual Kecil” Bersama
Luangkan 10–15 menit per hari untuk ngobrol, tanpa gangguan gadget atau anak. Bisa sebelum tidur atau setelah anak tidur. Ini bisa menjadi “pengisi ulang” koneksi emosional.
2. Validasi Perasaan Pasangan
Alih-alih menyalahkan (“Kamu selalu...”), cobalah kalimat seperti:
“Aku tahu kamu lelah. Aku juga. Gimana kalau kita cari solusi bareng?”
Empati jauh lebih membangun daripada argumen.
3. Bagi Tugas Secara Adil
Jangan hanya membicarakan pembagian tugas saat sedang emosi. Duduk dan buat kesepakatan harian, mingguan, dan jangka panjang. Libatkan pasangan dalam proses pengambilan keputusan.
4. Terapkan Prinsip “Repair Attempt”
Gottman menyarankan untuk segera memperbaiki suasana saat konflik mulai panas entah lewat humor, pelukan, atau pengalihan suasana. Tujuannya bukan menghindari konflik, tapi menjaga percakapan tetap sehat.
5. Jangan Ragu ke Konselor
Banyak pasangan berpikir terapi itu “terlalu serius”, padahal bantuan profesional bisa mencegah masalah jadi lebih besar. Konseling tidak hanya untuk menyelamatkan hubungan, tapi juga untuk menguatkan ikatan emosional.