Kerja Seperlunya Tapi Nggak Resign? Apa Itu Quiet Quitting, Fenomena yang Lagi Marak di Asia?

Ilustrasi Quite Quitting
Sumber :
  • iStock

Lifestyle –Pernah merasa hadir di tempat kerja tapi tidak benar-benar terlibat? Tugas dikerjakan, tapi tanpa semangat ekstra. Nggak lagi ambisius, nggak tertarik promosi, dan kalau bisa, pulang tepat waktu tanpa drama. Kalau iya, bisa jadi kamu sedang mengalami yang disebut sebagai quiet quitting.

Fenomena ini belakangan jadi sorotan, terutama di negara-negara Asia seperti Jepang dan Korea Selatan yang terkenal dengan budaya kerja kerasnya. Bahkan, survei terbaru dari Jepang menunjukkan bahwa hampir 30% pekerja di sana adalah quiet quitters. Apa sebenarnya penyebabnya, dan apakah ini juga terjadi di Indonesia?

Pertama mari bahas apa itu quite quitting. Secara sederhana, quiet quitting bukan berarti seseorang benar-benar berhenti bekerja. Mereka tetap datang ke kantor, menyelesaikan tugas sesuai deskripsi pekerjaan, tapi berhenti untuk memberikan usaha ekstra. Tidak mau lembur tanpa bayaran, enggan menerima tanggung jawab tambahan, dan tidak lagi tertarik mengejar promosi.

Hal yang dilakukan sebenarnya bukan "malas", tapi menetapkan batasan. Istilah ini populer sejak pandemi COVID-19, saat banyak orang mulai mempertanyakan prioritas hidup mereka dan memutuskan untuk tidak lagi menjadikan pekerjaan sebagai pusat segalanya.

Survei Jepang: Hampir 1 dari 3 Pekerja Sudah Menyerah Diam-Diam

Melansir laman The Japan Times, pada April 2025 melaporkan hasil survei terbaru dari perusahaan pelatihan bisnis Persol Research and Consulting. Hasilnya 27,7% pekerja Jepang termasuk dalam kategori quiet quitter, sementara hanya 12,2% yang merasa benar-benar terlibat dalam pekerjaan mereka.

Ini sangat mencolok, mengingat Jepang dikenal dengan budaya kerja gambaru, konsep kerja keras tanpa kenal lelah demi loyalitas dan kehormatan. Tapi data ini menunjukkan bahwa bahkan di negara dengan reputasi kerja ekstrem, para karyawan mulai menarik garis batas.