Mengapa Label ‘Pelakor’ Melekat Selamanya, dan Sulit Dihapus diingatan Masyarakat?

Ilustrasi kerusakan rumah tangga
Sumber :
  • Pixaby

LifestylePelakor alias perebut laki orang, merupakan istilag yang tak asing di telinga masyarakat. Label ini bahkan akan terus melekat pada wanita yang disebut-sebut sebagai biang keladi di balik rusaknya rumah tangga pasangan suami-istri.

Bahkan beberapa publik figur juga mendapat label negatif ini dari publik tanah air.  Lalu, mengapa label 'pelakor' begitu susah dihilangkan, bahkan saat seseorang sudah berubah?

Artikel ini mencoba membedah fenomena ini dari sudut sosiologis dan psikologis, melalui teori Howard Becker, Erving Goffman, Eva Illouz, Brené Brown, Sherry Turkle, dan socioreligious insights global. 

Label Sosial Menjadi Stigma Permanen

 

Menurut Howard Becker (teori labeling), stigma dibentuk bukan hanya dari tindakan, tapi bagaimana masyarakat memberi label. Sekali seseorang dilabeli sebagai 'pelakor' orang tersebut ditetapkan sebagai penyimpang sosial, identitasnya tertanam lebih kuat dari siapa dirinya sebelum atau setelahnya. 

"Setelah seseorang diberi label, mereka sering menginternalisasi identitas yang diberikan kepadanya,” ujar Becker.

Public perception ini menciptakan lingkaran stigma yang mana label → perilaku difilter berdasarkan label → label semakin melekat, meski perilaku sudah positif.

 

Persepsi Publik Didorong oleh Empati pada Korban

 

Ketika istri sah dan anak-anak, menjadi korban emosional, masyarakat merasa punya kewajiban untuk membela korban. Profesor Sosiologi dari Universitas Herbew, Eva Illouz menyoroti bagaimana media membentuk narasi moral yang menekan yakni pelakor dijadikan 'musuh moral' karena dianggap ancaman terhadap nilai keluarga dan kesetiaan. Mulan hadir dalam momen siraman besar ini lalu efeknya dipandang bukan netral, melainkan simbol dari narasi lama 'pelakor tetap di sana'

 

Sanksi Sosial Tanpa Akhir

 

Erving Goffman dalam bukunya Stigma: Notes on the Management of Spoiled Identity mengatakan bahwa stigma adalah atribut yang sangat mendiskreditkan. Label itu membatasi akses sosial, pekerjaan, dan bahkan kehidupan pribadi.

Seorang pelakor mungkin telah berubah menjadi pribadi yang patuh pada norma, namun masyarakat melihatnya sebagai 'devian sosial' (perilaku menyimpang) yang tidak pantas mendapat kedekatan.

 

Beban Psikologis dan Trauma Identitas

 

 

Menurut peneliti kenamaan, Dr. Brené Brown, terus-menerus dicap atau dihakimi akan menciptakan perasaan malu kronis dan menggerus keyakinan diri.

“Rasa malu merusak bagian dari diri kita yang percaya bahwa kita mampu berubah," kata dia.

Mantan pelakor bisa mengalami gangguan identitas dan menarik diri dari kehidupan publik sebagai bentuk pertahanan. Mereka mungkin memilih berdiam di balik layar, tidak tampil publik lagi.


Media & Jejak Digital: Stigma Tak Pernah Hilang

 

Sosiolog asal Amerika Serikat, Sherry Turkle menyatakan, dalam dunia digital istilah masa lalu tidak akan pernah selesai. Setiap unggahan, artikel atau komentar lama akan abadi di internet. 

 

Budaya, Agama, dan Norma Moral yang Kuat Menolak Pelanggaran

 

Di kultur Timur seperti Indonesia, pernikahan dianggap sakral. Wanita dianggap simbol kesetiaan keluarga; ketika wanita melakukan perselingkuhan, stigma yang menimpanya biasanya lebih berat dibanding pria. Belum lagi norma agama yang menghargai kesucian pernikahan. menjadikan pelanggar perempuan seolah 'dosa yang tak terampuni'. 

 

Solusi: Mengelola Stigma dan Memulai Hidup Baru

 

Menurut pendiri dari Center for Mindful Self-Compassion (CMSC), Dr. Kristin Neff, self‑compassion adalah modal utama dalam penyembuhan yakni memaafkan diri dan memberi ruang untuk berubah. Langkah nyata seperti kontribusi sosial, transparansi, dan komitmen bisa membantu memperbaiki reputasi secara perlahan. Edukasi publik juga penting. Masyarakat perlu difasilitasi agar tidak langsung melabeli atau menghakimi terutama di dunia digital.