Setelah Rojali dan Rohana Kini Muncul Romusa, Apa Itu?
- Freepik
Lifestyle – Fenomena Rojali (Rombongan Jarang Beli) dan Rohana (Rombongan Hanya Nanya) merupakaan istilah yang menggambarkan perilaku konsumen di pusat perbelanjaan yang ramai namun minim transaksi. Setelah mencuri perhatian netizen dan masyarakat muncul frasa baru, yaitu romusa.
Dalam konteks ini, arti romua bukan bermakna sebagai kerja paksa. Istilah populer yang viral di media sosial, seperti X dan TikTok, menambah daftar panjang akronim jenaka yang menggambarkan kebiasaan pengunjung di pusat perbelanjaan.
Apa Itu Romusa?
Romusa merupakan singkatan dari rombongan muka susah. Ini adalah istilah terbaru yang viral di media sosial, khususnya di platform X, untuk menggambarkan kelompok pengunjung mal yang datang dengan ekspresi wajah muram atau terlihat susah karena keterbatasan finansial namun tetap menghabiskan waktu di pusat perbelanjaan tanpa melakukan transaksi pembelian.
Berbeda dengan Rojali yang hanya jarang membeli atau Rohana yang hanya bertanya-tanya, Romusa mengandung nuansa emosional. Pasalnya, menggambarkan pengunjung yang tampak terbebani oleh kondisi ekonomi tetapi ‘nekat’ ke mal sebagai pelarian hiburan nyaman dan gratis yang mencerminkan alih fungsi pusat perbelanjaan menjadi ruang publik.
Romusa merupakan kelanjutan dari tren Rojali dan Rohana yang mencerminkan penurunan daya beli masyarakat, terutama di kalangan menengah ke bawah sejak pandemi Covid-19 berakhir. Mal kini tidak hanya berfungsi sebagai tempat belanja, tetapi juga sebagai ruang rekreasi, interaksi sosial, dan window shopping sekadar untuk melihat barang sebelum membeli secara daring.
Hadirnya romusa menambah dimensi baru dalam fenomena ini yang menyoroti aspek psikologis pengunjung yang merasa tertekan oleh kondisi ekonomi. Di sisi lain, ingin menikmati fasilitas mal seperti Wi-Fi gratis, pendingin ruangan, atau spot foto Instagramable tanpa mengeluarkan uang.
Dampak Ekonomi
Dari perspektif ekonomi, keberadaan Romusa menunjukkan bahwa daya beli masyarakat belum sepenuhnya pulih walaupun indikator makroekonomi seperti PDB atau inflasi tampak membaik. Namun, konsumsi rumah tangga masih menjadi penyumbang terbesar PDB masih lesu selaras dengan fakta di lapangan di mana mal ramai tapi transaksi stagnan.
Bagi pelaku usaha, fenomena Romusa menjadi tantangan tersendiri. Di satu sisi, jumlah pengunjung meningkat tetapi pembelian menurun. Hal ini mendorong pelaku ritel untuk berinovasi dengan strategi pemasaran yang lebih adaptif, seperti promosi berbasis pengalaman, gamifikasi interaksi, hingga pendekatan digital seperti live shopping atau bundling khusus komunitas.
Cermin Pergeseran Kebiasaan
Di sisi lain, Romusa juga mengungkap realitas sosial bahwa mal kini menjadi ruang escape atau pelarian dari tekanan hidup. Kehadiran mereka bukan semata karena konsumtif, tetapi sebagai bentuk coping mechanism atau pelarian emosional dari tekanan ekonomi yang makin kompleks.
Fenomena Romusa bukan hanya istilah viral yang mengundang senyum. Lebih dari sekadar bahan candaan di dunia maya.
Romusa adalah cermin sosial dari tekanan hidup, perubahan peran pusat perbelanjaan, dan daya beli masyarakat yang menurun. Di balik raut muka ‘susah’, tersimpan harapan akan ruang publik yang nyaman, akses hiburan yang inklusif, dan tentunya perbaikan ekonomi yang lebih merata.