Waspada! Postingan Orang Tua di Medsos Bisa Mengancam Masa Depan Anak
- Freepik
Lifestyle –Di era digital yang serba terkoneksi, media sosial telah menjadi ruang bagi orangtua untuk mengekspresikan kasih sayang dan kebanggaan terhadap anak mereka. Salah satu bentuknya adalah dengan membagikan momen-momen pertumbuhan anak—mulai dari foto bayi yang baru lahir, rekaman video saat anak mengucapkan kata pertamanya, hingga aktivitas sehari-hari yang dianggap lucu atau menggemaskan. Fenomena ini dikenal dengan istilah sharenting, yaitu kombinasi dari kata sharing dan parenting. Meski terlihat tidak berbahaya, praktik ini ternyata dapat menimbulkan konsekuensi serius terhadap privasi dan masa depan anak. Pertanyaannya adalah: apakah semua hal tentang anak perlu dibagikan ke publik?
Apa Itu Sharenting?
Sharenting merujuk pada kebiasaan orangtua yang secara rutin membagikan konten anak mereka di platform digital, seperti Instagram, Facebook, TikTok, atau YouTube. Konten yang dibagikan bisa berupa foto harian, cerita lucu, perkembangan pendidikan, atau momen-momen emosional lainnya. Bagi sebagian besar orangtua, tindakan ini merupakan bentuk dokumentasi dan cara untuk membangun ikatan dengan komunitas lain yang memiliki kesamaan pengalaman dalam parenting.
Namun, penting untuk diingat bahwa setiap unggahan orangtua dapat meninggalkan jejak digital permanen bagi anak, yang mungkin tidak mereka inginkan atau bahkan tidak mereka sadari. Dalam konteks pola asuh modern, hal ini menuntut kesadaran orangtua akan pentingnya perlindungan data pribadi dan hak digital anak.
Privasi Anak: Hak yang Sering Terabaikan
Anak adalah individu yang memiliki hak atas privasi, meskipun mereka belum cukup umur untuk memahami atau memberikan persetujuan. Ketika orangtua mengunggah konten pribadi anak tanpa mempertimbangkan dampaknya, mereka tanpa sadar telah mengambil alih kontrol atas identitas digital anak sejak usia dini. Hal ini dapat berdampak pada kehidupan sosial, emosional, dan bahkan profesional anak di masa depan.
Sayangnya, banyak orangtua belum menyadari bahwa postingan hari ini bisa menjadi bahan perundungan, pelecehan, atau penilaian negatif di kemudian hari. Anak-anak yang merasa hidupnya terekspos tanpa kendali bisa mengalami tekanan psikologis, malu, atau bahkan kehilangan rasa percaya kepada orangtuanya. Oleh karena itu, privasi anak seharusnya menjadi perhatian utama dalam praktik pola asuh digital yang bertanggung jawab.
Risiko Jangka Panjang dari Sharenting
Beberapa risiko serius yang bisa timbul akibat sharenting antara lain:
1. Pencurian Identitas Digital
Informasi pribadi seperti nama lengkap, tanggal lahir, alamat rumah, hingga foto anak yang diunggah secara publik dapat dimanfaatkan oleh pihak ketiga untuk tujuan kejahatan digital. Kasus pencurian identitas (identity theft) pada anak telah meningkat secara global, dan Indonesia tidak luput dari risiko tersebut. Data anak dapat digunakan untuk membuat akun palsu, mengakses layanan digital secara ilegal, hingga melakukan pinjaman online atas nama mereka.
2. Digital Kidnapping
Fenomena ini terjadi ketika foto anak digunakan ulang oleh pihak lain di media sosial tanpa izin. Foto-foto tersebut bisa muncul di akun palsu, dijadikan bahan promosi tidak sah, atau digunakan untuk tujuan eksploitasi. Dalam beberapa kasus ekstrem, foto anak bahkan dipalsukan menjadi bagian dari narasi atau identitas anak orang lain.
3. Cyberbullying dan Dampak Psikologis
Konten yang dulunya dianggap lucu, seperti video anak menangis, tantrum, atau gagal melakukan sesuatu, bisa menjadi bahan ejekan saat anak tumbuh dewasa. Hal ini berpotensi menimbulkan cyberbullying di lingkungan sekolah atau komunitas digital mereka di masa depan.
4. Kerusakan Relasi Anak-Orangtua
Anak yang menyadari dirinya telah diekspos berlebihan di media sosial sejak kecil bisa kehilangan rasa hormat dan kepercayaan terhadap orangtuanya. Mereka merasa tidak pernah diberi ruang untuk memiliki identitas diri yang mandiri. Ini menjadi tantangan baru dalam menjaga kelekatan emosional dalam pola asuh jangka panjang.
Perspektif Hukum dan Etika
Secara hukum, Indonesia mulai mengatur perlindungan data pribadi melalui Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP). Dalam UU tersebut, data anak termasuk ke dalam kategori data pribadi sensitif yang wajib dijaga kerahasiaannya. Selain itu, Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) juga memberi perlindungan terhadap penyebaran informasi pribadi tanpa izin.
Namun, hukum saja tidak cukup jika orangtua belum memiliki kesadaran etis terhadap tindakan mereka di dunia digital. Prinsip dasar etika dalam parenting digital adalah: bagikan hanya yang tidak akan disesali oleh anak kelak, dan selalu pikirkan dampaknya sebelum mengunggah.
Studi Kasus: Ketika Sharenting Menjadi Bumerang
Di luar negeri, pernah terjadi kasus seorang remaja yang menggugat ibunya karena mengunggah ratusan foto masa kecilnya tanpa izin, dan menolak untuk menghapusnya meskipun sudah diminta. Foto-foto tersebut membuat sang anak menjadi sasaran perundungan di sekolah dan mempengaruhi kesehatan mentalnya. Di Indonesia, kasus serupa mungkin belum banyak terekspos secara publik, namun risiko dan potensi kejadiannya sangat nyata.
Sharenting seharusnya tidak dilakukan atas dasar dorongan emosional sesaat, atau sekadar mengejar likes dan validasi sosial. Orangtua perlu membekali diri dengan literasi digital dan memahami bahwa masa depan anak dimulai dari keputusan-keputusan kecil yang dilakukan hari ini. Dalam konteks parenting yang berorientasi masa depan, membatasi ekspose digital anak bukanlah bentuk ketertutupan, melainkan bentuk perlindungan yang bijak.