Gelar Saja Tak Cukup, Ini Alasan Banyak Sarjana yang Menganggur dan Sulit Dapat Kerja

Ilustrasi menganggur
Sumber :
  • Freepik

Lifestyle – Memiliki gelar sarjana bukan lagi jaminan mudah mendapatkan pekerjaan. Di berbagai belahan dunia, termasuk Amerika Serikat, Inggris, dan Australia, semakin banyak lulusan universitas yang justru menghadapi kenyataan pahit: menganggur atau bekerja di bidang yang tidak relevan dengan jurusan mereka.

Dunia Kerja Berubah! Ini 8 Profesi yang Lahir dari Teknologi AI, Auto Panen Cuan di 2030

 

Fenomena ini bukan hanya terjadi karena kompetisi yang ketat. Sejumlah studi internasional menunjukkan bahwa penyebabnya sangat kompleks dan sistemik. Berikut tujuh alasan utama mengapa banyak lulusan sarjana gagal mendapatkan kerja, berdasarkan laporan dari Wall Street Journal, Times Higher Education, hingga The Australian.

Profesi Petani Modern Diprediksi Cerah di 2030, Gajinya Bisa Tembus Rp1 Miliar!

 

1. Hilangnya Pekerjaan Entry-Level

9 Jurusan Kuliah Ini Diprediksi Paling Dicari di 2030, Lulusannya Auto Dilirik Perusahaan Gede!

 

Menurut laporan Wall Street Journal (2024), perusahaan kini makin jarang membuka lowongan untuk level pemula. Banyak dari mereka mengalihkan tugas administratif ke AI atau staf internal yang sudah ada. Akibatnya, lulusan baru kehilangan pijakan awal untuk memasuki dunia kerja.

 

Data dari Center for Economic and Policy Research juga menunjukkan bahwa lowongan kerja untuk lulusan sarjana usia 22–27 turun drastis, dengan angka pengangguran kelompok ini mencapai 5,8% di Amerika Serikat.

 

2. Ketidaksesuaian Keterampilan (Skills Mismatch)

 

Banyak lulusan sarjana yang belum memiliki keterampilan praktis yang dibutuhkan dunia kerja. BestColleges.com mencatat bahwa hanya 24% lulusan yang merasa benar-benar siap menghadapi tuntutan profesional. Sebaliknya, 89% HRD menyatakan lebih memilih kandidat yang sudah berpengalaman atau memiliki keterampilan spesifik.

 

Menurut The Australian, sistem pendidikan tinggi saat ini masih terlalu berfokus pada teori, bukan pada penerapan nyata yang relevan dengan kebutuhan industri.

 

3. Kurangnya Soft Skills dan Ketahanan Mental

 

Laporan dari Times Higher Education menyebutkan bahwa 54% pemberi kerja menilai lulusan sarjana tidak memiliki self-awareness, dan 46% merasa mereka kurang tahan terhadap tekanan. Padahal, dunia kerja menuntut individu yang mampu bekerja dalam tim, berkomunikasi efektif, dan adaptif terhadap perubahan.

 

4. Persaingan Global dan Kerja Jarak Jauh

 

Tren kerja remote membuat batas negara menjadi kabur. Perusahaan kini menerima pelamar dari seluruh dunia, sehingga persaingan semakin ketat. Lulusan lokal harus bersaing dengan kandidat internasional yang bisa menawarkan keahlian serupa dengan biaya lebih rendah.

 

5. Gelar Tak Lagi Jadi Nilai Tambah

 

Fenomena credential inflation menjadikan gelar sarjana tidak lagi eksklusif. Bila dulu S1 dianggap keunggulan, kini hampir semua pelamar memilikinya. Akibatnya, banyak perusahaan menilai lulusan baru sebagai “overqualified” untuk pekerjaan dasar, namun juga belum cukup siap untuk peran menengah.

 

6. Tekanan Finansial dan Beban Utang Pendidikan

 

Di Amerika Serikat, lulusan sarjana membawa beban utang pendidikan rata-rata lebih dari US$25.000. Banyak dari mereka terpaksa menerima pekerjaan seadanya demi membayar cicilan, alih-alih menunggu peluang kerja yang sesuai bidang.

 

Kondisi ini diangkat dalam laporan Business Insider (2025), yang menyoroti kisah Solomon Jones, lulusan komunikasi yang menganggur selama berbulan-bulan meski telah melamar lebih dari 200 posisi.

 

7. Kurangnya Sertifikasi dan Pengalaman Industri

 

Banyak lulusan S1, terutama di bidang teknologi, tidak siap masuk industri karena kurangnya pelatihan teknis dan pengalaman langsung. Sertifikasi seperti Google Data Analytics, Microsoft AI-900, atau kursus spesialis lain kini menjadi pembeda utama dalam rekrutmen.

 

The Australian bahkan menyarankan agar universitas mengadopsi sistem blended degrees, yaitu kombinasi antara kuliah teori dan proyek kerja langsung agar lulusan lebih siap bersaing.

 

Fenomena banyaknya lulusan sarjana yang gagal mendapatkan pekerjaan bukan semata-mata karena malas atau tidak berkompeten. Masalah ini mencerminkan ketidaksesuaian antara sistem pendidikan tinggi dan dinamika pasar kerja modern.

 

Untuk mengatasi hal ini, dibutuhkan kerja sama antara lembaga pendidikan, perusahaan, dan individu. Universitas perlu memperkuat keterampilan praktis, mahasiswa harus aktif mengejar pengalaman magang atau sertifikasi, dan dunia usaha sebaiknya membuka lebih banyak peluang entry-level bagi lulusan baru.

 

Tanpa langkah konkret, angka pengangguran lulusan sarjana akan terus meningkat dan berpotensi menimbulkan krisis kepercayaan terhadap pendidikan tinggi itu sendiri.