Gunung Bersejarah Kisah Nabi Musa Dikabarkan Bakal Jadi Resor Mewah
- BBC
Lifestyle – Gunung Sinai — yang dikenal dalam tradisi Yahudi, Kristen, dan Islam sebagai tempat Nabi Musa berdialog dengan Allah dan menerima Sepuluh Perintah — kini menghadapi perubahan ambisius: pembentukan kompleks resor mewah yang akan meliputi hotel bintang tinggi, vila, pusat belanja, kereta gantung, dan infrastruktur pendukung lainnya.
Proyek ini, yang muncul sebagai bagian dari strategi nasional Mesir untuk memperkuat sektor pariwisata, memicu polemik global, protes komunitas lokal, hingga sorotan dari UNESCO dan organisasi konservasi. Di lanskap gurun yang kering dan terpencil, keyakinan umat dan ekosistem budaya berhadapan langsung dengan tekanan pembangunan modern.
Latar Sejarah dan Signifikansi Religius
Gunung Sinai, atau Jabal Musa dalam sebutan lokal Arab, bukan sekadar puncak batu — ia merupakan simbol spiritual lintas agama. Dalam cerita Taurat dan Alkitab, di sinilah Tuhan berbicara melalui semak duri yang menyala, dan di sinilah Nabi Musa menerima perintah ilahi. Bagi umat Islam, kisah itu juga dirujuk dalam beberapa ayat al-Qur’an yang menggambarkan wahyu kepada nabi dalam konteks tanda-tanda alam dan manifestasi ketuhanan.
Di kaki gunung berdiri Biara St. Catherine, yang berusia sejak abad ke-6 dan saat ini dikelola oleh Gereja Ortodoks Yunani. Biara ini terus berfungsi sebagai pusat spiritual dan tempat koleksi manuskrip kuno yang sangat berharga. Kompleks biara dan sekitarnya kini menjadi bagian dari Situs Warisan Dunia UNESCO, yang mencakup elemen alamiah, arsitektur, serta warisan budaya tak berwujud.
Selain aspek religius dan arkeologis, wilayah sekitar Gunung Sinai juga dihuni oleh suku Badui lokal, dikenal dengan nama suku Jebeleya, yang selama berabad-abad menjaga tradisi nomaden dan menjadi penjaga lokal situs suci. Masyarakat ini memiliki hubungan sejarah, budaya, dan spiritual yang melekat pada lanskap gurun dan jalur ziarah gunung.
Sketsa Proyek Resor: “Great Transfiguration Project”
Pemerintah Mesir meluncurkan gagasan pembangunan megaproject dengan nama Great Transfiguration Project yang mulai diumumkan sejak 2021. Rencana tersebut berupa pengembangan hotel kelas atas, vila eksklusif, pusat perbelanjaan, pusat pengunjung besar, jalur kereta gantung menuju puncak gunung, bahkan perluasan bandara kecil di dekatnya.
Salah satu lokasi inti pembangunan adalah Dataran el-Raha di kawasan St. Catherine, yang kini sudah tampak perubahan pada jalan-jalan baru, lahan yang digarap, dan infrastruktur tambahan. Beberapa korporasi hotel internasional, seperti Steigenberger, disebut telah memperoleh hak pengelolaan dan lahan untuk pengembangan penginapan mewah. Pemerintah Mesir menyebut proyek ini sebagai “hadiah Mesir untuk seluruh dunia dan semua agama,” sebuah narasi yang berupaya menghadirkan elemen harmoni antaragama dalam pembangunan.
Mesir menargetkan peningkatan jumlah wisatawan hingga 30 juta orang pada tahun 2028 sebagai bagian dari strategi pemulihan ekonomi pasca pandemi.
Kekhawatiran Dampak Lingkungan, Budaya, dan Sosial
Pembangunan semacam ini membawa ancaman serius terhadap integritas lanskap suci dan warisan tak berwujud di kawasan Sinai. Organisasi konservasi memperingatkan bahwa proyek dapat merusak karakter visual, harmoni ekologis, dan nilai autentisitas yang menjadi dasar penetapan UNESCO.
Menurut laporan Fire Risk Heritage, konstruksi yang masif di suatu situs suci seringkali memperkenalkan risiko fisik — dari kerusakan struktur, perubahan hidrologi lokal, hingga tekanan langsung pada lingkungan alam.
Selain itu, konflik sosial mencuat ketika rumah-rumah komunitas Badui dibongkar atau digusur, perkemahan tradisional dihancurkan, bahkan kuburan leluhur dipindahkan tanpa persetujuan atau kompensasi memadai. Beberapa laporan menyebut pemakaman lokal dipindah untuk mengakomodasi lahan parkir baru.
Aktivis lokal dan penulis perjalanan seperti Ben Hoffler mengungkap bahwa sebagian pembangunan dipaksakan “dari atas ke bawah,” bukan melalui dialog dan persetujuan komunitas lokal. Dalam pandangan mereka, lanskap sosial dan kultural akan berubah permanen, menyisakan masyarakat lokal sebagai pihak minim kuasa atas transformasi ruang spiritual mereka.
Sejak tahun 2023, UNESCO telah menyampaikan kekhawatiran resminya dan mendesak Mesir menghentikan proses pembangunan sampai analisis dampak warisan dilakukan. Hingga kini, langkah-langkah tersebut belum sepenuhnya dipenuhi.
Pada Juli 2025, World Heritage Watch secara terbuka menyerukan agar kawasan St. Catherine dimasukkan dalam daftar Warisan Dunia yang Terancam jika pembangunan berlanjut tanpa mitigasi serius.
Eskalasi Diplomasi & Tekanan Internasional
Rencana pembangunan ini juga menimbulkan ketegangan diplomatik, terutama antara Mesir dan Yunani. Yunani menyampaikan kecaman keras ketika pengadilan Mesir pada Mei 2025 memutuskan bahwa tanah tempat Biara St. Catherine berada adalah milik negara, bukan milik biara—biara hanya memiliki hak penggunaan. Kepala Gereja Ortodoks Yunani, Uskup Agung Ieronymos II, menyebut keputusan itu sebagai “penyitaan properti biara” dan “serangan terhadap Kekristenan Ortodoks.”
Uskup Agung Damianos dari St. Catherine bahkan menyebut keputusan itu sebagai “aib” dan menolak keputusan pengadilan tersebut. Dewan diplomatik Yunani dan Mesir kemudian mengumumkan komitmen bersama untuk menjaga identitas Ortodoks biara dan akses ke situs-situs keagamaannya.
Tekanan internasional juga datang dari UNESCO dan organisasi warisan global lainnya. UNESCO meminta Mesir untuk menghentikan pembangunan sementara, melakukan evaluasi dampak, dan melibatkan pakar warisan budaya dalam perencanaan.
Sementara itu, organisasi non-pemerintah seperti World Heritage Watch menyoroti bahwa Mesir tampaknya mengabaikan rekomendasi konservasi serta norma-norma perlindungan warisan yang seharusnya menjadi fondasi pengelolaan situs dunia. Dalam beberapa laporan, proyek sudah berjalan dengan aktivitas konstruksi yang terus berlanjut bahkan di zona inti kawasan suci.
Peluang & Tantangan Pariwisata Religius Kontemporer
Jika dilaksanakan dengan pendekatan sensitif terhadap nilai spiritual, kultural, dan lingkungan, proyek ini memiliki potensi untuk meningkatkan aksesibilitas, fasilitas ziarah, dan energi ekonomi lokal. Infrastruktur pendukung — seperti kereta gantung, pusat interpretasi situs, penginapan ramah lingkungan — dapat menciptakan pengalaman wisata religius yang lebih nyaman dan menarik bagi peziarah dan pelancong global.
Namun tantangan utamanya adalah bagaimana menyeimbangkan pembangunan komersial dengan penghormatan mendalam terhadap lanskap sakral dan partisipasi masyarakat lokal sebagai pemangku kepentingan utama.
Proyek semacam ini juga membuka kajian terhadap konsep “pariwisata suci masa depan”, yaitu bagaimana kawasan yang dianggap suci dapat diakses dan dinikmati tanpa kehilangan esensi spiritual dan kulturalnya. Beberapa pengamat menyarankan agar model partisipatif, mitigasi lingkungan, dan konservasi adaptif menjadi inti dalam perencanaan, dibandingkan pembangunan skala besar tanpa kontrol yang kuat.
Teknologi modern — seperti pemantauan geografis satelit, analisis dampak lanskap, desain arsitektur low-impact — dapat diterapkan untuk meminimalisir jejak pembangunan terhadap alam dan keaslian visual situs.