Bukan Mitos, Traveling Bisa Jadi Obat Gangguan Mental Ringan
- Pixabay
Lifestyle –Dalam beberapa tahun terakhir, minat masyarakat terhadap kegiatan traveling meningkat pesat. Tak hanya untuk memenuhi kebutuhan rekreasi, banyak orang kini menjadikan perjalanan sebagai sarana pemulihan psikologis atau healing.
Di tengah meningkatnya kesadaran akan pentingnya kesehatan mental, muncul pertanyaan yang cukup krusial: benarkah traveling bisa membantu menyembuhkan penyakit mental? Jawaban atas pertanyaan ini memerlukan penelusuran ilmiah yang mendalam, serta pemahaman bahwa dampak traveling terhadap psikologi manusia bisa sangat beragam, tergantung pada kondisi, kepribadian, dan tujuan perjalanan masing-masing individu.
Kesehatan Mental dalam Sorotan: Peran Traveling sebagai Terapi Alternatif
Pascapandemi COVID-19, isu kesehatan mental menjadi salah satu perhatian utama dunia. Gangguan seperti kecemasan (anxiety), stres kronis, hingga depresi ringan banyak dialami oleh berbagai kalangan. Di tengah keterbatasan akses terhadap layanan psikologis, sebagian orang mulai menjadikan traveling sebagai pelarian dari tekanan hidup sehari-hari.
Namun, lebih dari sekadar bentuk eskapisme, beberapa penelitian menunjukkan bahwa traveling memang dapat memberikan efek terapeutik yang signifikan, terutama jika dilakukan dengan kesadaran dan tujuan yang jelas.
Menurut laporan dari Global Wellness Institute (2022), wisata kesehatan mental (mental wellness tourism) menjadi salah satu tren terbesar dalam industri pariwisata global. Perjalanan yang dirancang untuk memberikan ketenangan batin dan memperkuat koneksi dengan alam terbukti mampu menurunkan tingkat kortisol dalam tubuh, yaitu hormon stres yang berperan besar dalam banyak gangguan psikologis.
Penjelasan Ilmiah: Apa yang Terjadi pada Otak Saat Traveling?
Secara ilmiah, traveling memengaruhi sistem saraf dan kerja otak dalam berbagai cara. Ketika seseorang berada di lingkungan baru, otak dipaksa untuk beradaptasi dan merespons rangsangan yang tidak biasa. Proses ini merangsang area hippocampus—bagian otak yang bertanggung jawab terhadap pembentukan memori dan pengolahan emosi. Aktivitas ini dapat meningkatkan neuroplastisitas, yaitu kemampuan otak untuk membentuk koneksi baru dan memperbaiki diri.
Selain itu, selama melakukan perjalanan, tubuh memproduksi lebih banyak hormon dopamin dan serotonin—zat kimia yang berkaitan dengan perasaan senang dan puas. Aktivitas menyenangkan seperti menjelajah alam, menikmati budaya baru, atau berinteraksi dengan masyarakat lokal bisa merangsang pelepasan hormon ini, yang pada akhirnya berdampak positif pada suasana hati dan motivasi.
Dari perspektif kepribadian, individu dengan karakter terbuka terhadap pengalaman baru (openness to experience) cenderung memperoleh manfaat psikologis yang lebih besar dari traveling. Mereka biasanya lebih mudah merasakan perasaan kagum, syukur, dan koneksi spiritual selama perjalanan, yang semuanya berkontribusi pada perbaikan kondisi mental.
Jenis Traveling yang Berdampak Positif pada Kesehatan Mental
Tidak semua jenis perjalanan memberikan dampak yang sama. Beberapa bentuk wisata yang paling efektif dalam membantu pemulihan psikologis antara lain:
1. Wisata Alam (Nature-Based Travel)
Menghabiskan waktu di tengah hutan, pegunungan, atau laut terbukti menurunkan tekanan darah dan denyut jantung. Studi dari Stanford University (2015) menunjukkan bahwa berjalan kaki di alam terbuka selama 90 menit dapat menurunkan aktivitas di bagian otak yang terkait dengan ruminasi negatif.
2. Retret Spiritual dan Mindfulness
Program seperti yoga retreat, meditasi, atau silent camp membantu individu untuk berfokus pada diri sendiri dan melatih kesadaran penuh (mindfulness). Ini sangat berguna untuk meredam kecemasan dan mengurangi overthinking.
3. Solo Traveling
Perjalanan sendirian sering kali menjadi momen reflektif yang kuat. Selain membangun kepercayaan diri, solo traveling juga memberikan ruang untuk mengenal diri lebih dalam. Individu dengan kepribadian introvert biasanya menemukan kedamaian melalui jenis perjalanan ini.
4. Wisata Budaya dan Edukasi
Mengenal tradisi baru, bahasa asing, atau sejarah suatu tempat dapat memperluas sudut pandang hidup seseorang. Aktivitas ini memicu rasa ingin tahu dan mengurangi fokus berlebihan pada masalah pribadi.