Kebiasaan Orang Baduy Gak Pakai Sandal, Kenapa?

Baduy
Sumber :
  • Wonderful Indonesia

Lifestyle – Di tengah pesatnya modernisasi, Suku Baduy di Pegunungan Kendeng, Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten, tetap teguh memegang tradisi leluhur mereka. Salah satu kebiasaan yang mencuri perhatian adalah tradisi berjalan tanpa alas kaki, khususnya di kalangan Suku Baduy Dalam

Tradisi ini bukan sekadar kebiasaan, melainkan cerminan filosofi hidup yang mendalam, menjunjung tinggi kesederhanaan, kedekatan dengan alam, dan ketaatan pada aturan adat. 

Berikut ini adalah alasan di balik kebiasaan unik ini, sejarah serta nilai budaya yang melatarbelakanginya, hingga manfaat kesehatan yang ternyata selaras dengan pengetahuan modern.

Latar Belakang Suku Baduy dan Pembagiannya

Suku Baduy, yang menyebut diri mereka sebagai Urang Kanekes, merupakan masyarakat adat Sunda yang hidup di wilayah Pegunungan Kendeng, Banten. Berdasarkan tingkat ketaatan pada adat, suku ini terbagi menjadi dua kelompok utama: Baduy Dalam (Urang Tangtu) dan Baduy Luar

Baduy Dalam dikenal sangat menjaga kemurnian tradisi leluhur, menolak modernisasi, dan hidup secara tertutup dari dunia luar. Mereka tinggal di desa-desa terpencil seperti Cibeo, Cikartawana, dan Cikeusik. 

Sebaliknya, Baduy Luar lebih terbuka terhadap interaksi dengan masyarakat luar dan diizinkan menggunakan teknologi sederhana, termasuk alas kaki seperti sandal atau sepatu.

Kebiasaan berjalan tanpa alas kaki menjadi salah satu ciri khas Baduy Dalam. Aturan ini bukan hanya berlaku di wilayah adat mereka, tetapi juga saat mereka bepergian jauh, bahkan hingga ke kota-kota besar seperti Jakarta. Tradisi ini merupakan bagian dari pikukuh karuhun, yaitu aturan adat yang diwariskan secara turun-temurun dan dianggap sakral.

Filosofi di Balik Tradisi Tanpa Alas Kaki

Menurut tokoh adat Baduy, seperti yang diungkapkan oleh Karmain kepada Inibaru.id, kebiasaan berjalan tanpa alas kaki tidak hanya merupakan wujud ketaatan pada adat, tetapi juga memiliki makna filosofis dan spiritual. 

Baduy Dalam mempercayai bahwa berjalan tanpa alas kaki memperkuat hubungan manusia dengan bumi. Dalam pandangan mereka, bumi adalah titipan dari Yang Maha Kuasa yang harus dihormati. Dengan tidak menggunakan alas kaki, mereka merasakan langsung sentuhan tanah, yang dianggap sebagai simbol kesederhanaan dan kerendahan hati.

Filosofi ini selaras dengan prinsip hidup mereka yang tercermin dalam pepatah: “Gunung tidak boleh dihancurkan, lembah tidak boleh dirusak, yang pendek tidak boleh disambung, dan yang panjang tidak boleh dipotong.” 

Prinsip ini menekankan pentingnya menjaga keseimbangan alam dan hidup sesuai dengan kodratnya. Dengan berjalan tanpa alas kaki, Baduy Dalam menunjukkan komitmen mereka untuk hidup selaras dengan alam, menghindari hal-hal yang dianggap berlebihan, seperti penggunaan alas kaki yang dianggap tidak esensial.

Manfaat Kesehatan dari Berjalan Tanpa Alas Kaki

Selain nilai adat dan spiritual, tradisi ini ternyata juga memiliki manfaat kesehatan yang signifikan. Menurut penuturan tokoh adat Baduy, berjalan tanpa alas kaki dianggap sebagai “obat” bagi tubuh. 

Pandangan ini didukung oleh penelitian modern, seperti yang dilansir oleh Very Well Health. Berjalan tanpa alas kaki dapat mengembalikan pola berjalan alami, memungkinkan otot-otot kaki bergerak lebih bebas, dan memperbaiki postur tubuh. 

Kebiasaan ini juga mengurangi tekanan pada kaki yang sering terjadi akibat penggunaan sepatu yang tidak ergonomis.

Lebih lanjut, berjalan tanpa alas kaki memperkuat otot-otot kaki, pergelangan kaki, dan tungkai, sehingga mengurangi risiko cedera dan meningkatkan stabilitas tubuh. Aktivitas ini juga meningkatkan fleksibilitas dan jangkauan gerak pergelangan kaki, yang pada akhirnya mendukung langkah yang lebih ringan dan seimbang. 

Dalam konteks Baduy Dalam, yang sering berjalan jauh melintasi medan berbatu atau tanah, kebiasaan ini melatih ketahanan fisik dan ketangkasan kaki mereka.

Konteks Sejarah dan Kepercayaan Sunda Wiwitan

Tradisi tanpa alas kaki juga tidak lepas dari kepercayaan Sunda Wiwitan yang dianut oleh Suku Baduy. Sunda Wiwitan, yang menggabungkan unsur animisme, Hindu, dan Islam, menekankan pentingnya menjaga hubungan harmonis dengan alam dan leluhur. 

Menurut sejarah, Suku Baduy dipercaya merupakan keturunan dari Kerajaan Pajajaran yang mengasingkan diri ke Pegunungan Kendeng setelah kekalahan mereka dari Kesultanan Banten pada abad ke-16. Tradisi berjalan tanpa alas kaki menjadi salah satu cara untuk mempertahankan identitas budaya mereka di tengah tekanan modernisasi.

Baduy Dalam juga memandang kebiasaan ini sebagai bentuk asketisme, yaitu hidup sederhana dan menjauhkan diri dari kemewahan duniawi. Dengan tidak menggunakan alas kaki, mereka menunjukkan bahwa kebutuhan material bukanlah prioritas, melainkan ketaatan pada nilai-nilai spiritual dan adat.

Tradisi Lain yang Mendukung Gaya Hidup Baduy Dalam

Selain larangan menggunakan alas kaki, Baduy Dalam memiliki sejumlah tradisi lain yang mencerminkan komitmen mereka terhadap kesederhanaan dan kelestarian alam. Salah satunya adalah tradisi Kawalu, yaitu puasa yang dilakukan tiga kali selama tiga bulan sebagai bentuk penyucian diri. 

Mereka juga melarang penggunaan teknologi modern, seperti listrik dan perangkat elektronik, serta membatasi interaksi dengan orang luar untuk menjaga kemurnian adat. Pakaian serba putih yang mereka kenakan, lengkap dengan ikat kepala putih, juga menjadi simbol kesucian dan kesederhanaan.

Daya Tarik Wisata Budaya

Kebiasaan unik ini menjadikan Suku Baduy sebagai salah satu destinasi wisata budaya yang menarik di Indonesia. Wisatawan yang berkunjung ke Desa Kanekes tidak hanya dapat menyaksikan kehidupan masyarakat Baduy, tetapi juga belajar tentang nilai-nilai luhur yang mereka junjung. 

Namun, penting untuk memahami aturan adat sebelum berkunjung, seperti tidak membawa perangkat elektronik ke wilayah Baduy Dalam dan menghormati larangan memotret di area tertentu. Dengan memahami tradisi ini, wisatawan dapat menikmati pengalaman yang autentik sekaligus menghormati budaya lokal.