Fun Fact: Orang Dayak Bikin Tato Buat Jadi 'Paspor Akhirat'

Ilustrasi suku Dayak
Sumber :
  • Pixabay

Lifestyle – Di pedalaman Kalimantan, tato bukan sekadar seni tubuh, melainkan warisan budaya yang sarat makna spiritual dan sosial bagi Suku Dayak. Tradisi tato, yang telah ada sejak 1500-500 SM, dianggap sebagai 'paspor akhirat' oleh masyarakat Dayak, khususnya sub-suku seperti Iban dan Kayaan. 

Dalam kepercayaan mereka, tato berfungsi sebagai penerang jalan menuju alam keabadian setelah kematian, menggambarkan perjalanan spiritual yang mendalam. 

Berikut ini adalah fakta menarik tentang tradisi tato Dayak, dari sejarah, makna filosofis, hingga proses pembuatannya yang penuh adat, menjadikannya salah satu warisan budaya Indonesia yang patut dijelajahi.

Sejarah Panjang Tradisi Tato Dayak

Tradisi tato di kalangan Suku Dayak memiliki akar sejarah yang sangat tua, diperkirakan telah ada sejak era prasejarah. Menurut penelitian, seni tato ini sudah dikenal sejak 1500-500 SM, jauh sebelum budaya tato modern berkembang di dunia. 

Awalnya, tato atau yang disebut “tutang” oleh masyarakat Dayak digunakan sebagai penanda identitas suku saat perang antar-suku, seperti praktik “ngayau” (berburu kepala), yang kini telah ditinggalkan. Tato menjadi lencana kehormatan bagi pria yang menunjukkan keberanian dalam mempertahankan wilayah atau suku mereka.

Sementara itu, bagi perempuan, tato diberikan sebagai tanda kedewasaan atau penguasaan keterampilan tertentu, seperti menenun atau mengolah padi.

Makna Spiritual Tato sebagai 'Paspor Akhirat'

Bagi Suku Dayak, tato bukan hanya sekadar hiasan, melainkan memiliki dimensi religius yang kuat. Dalam kepercayaan mereka, tato berfungsi sebagai ‘obor’ atau penerang yang menuntun jiwa menuju alam keabadian setelah kematian. Masyarakat Dayak Iban, misalnya, mempercayai bahwa tato berwarna hitam di tubuh akan berubah menjadi warna emas setelah pemiliknya meninggal dunia, menjadi cahaya yang menerangi perjalanan spiritual mereka menuju surga. 

Semakin banyak dan rumit tato yang dimiliki seseorang, semakin terang pula ‘obor’ tersebut, menandakan pencapaian spiritual yang lebih tinggi. Keyakinan ini menjadikan tato sebagai simbol sakral yang tidak boleh dibuat sembarangan, karena prosesnya harus sesuai dengan aturan adat yang ketat.

Simbol Status Sosial dan Identitas

Selain makna spiritual, tato juga mencerminkan status sosial dalam masyarakat Dayak. Struktur sosial tradisional Dayak terbagi menjadi tiga tingkatan: hipi (bangsawan), panyin (rakyat biasa), dan divan (budak). 

Motif tato yang digunakan memiliki aturan ketat berdasarkan strata sosial ini. Misalnya, motif yang melambangkan dunia atas, seperti burung enggang atau naga, hanya boleh digunakan oleh kalangan bangsawan karena dianggap sebagai simbol kemuliaan dan hubungan dengan dunia spiritual. 

Sementara itu, rakyat biasa menggunakan motif dunia tengah, seperti tumbuhan atau hewan yang lebih sederhana, seperti bunga terung atau ketam (kepiting). Tato juga menjadi penanda prestasi individu, seperti keberanian atau keterampilan, sehingga menjadi bentuk pengakuan komunitas terhadap kontribusi seseorang.

Motif Tato dan Inspirasi Alam

Motif tato Dayak sangat dipengaruhi oleh alam sekitar, yang menjadi sumber kehidupan dan inspirasi budaya mereka. Motif yang umum digunakan mencakup elemen natural seperti bunga terung, bunga jantung, buah tengkawang, serta hewan seperti burung enggang, ketam, atau naga. 

Khususnya pada Dayak Iban, motif tato cenderung lebih besar dan kurang rumit dibandingkan sub-suku lain seperti Kayan atau Kenyah, tetapi tetap kaya akan makna. Misalnya, motif burung enggang, burung endemik Kalimantan yang dianggap suci, melambangkan keberanian dan hubungan dengan leluhur. 

Sementara itu, motif bunga terung sering dikaitkan dengan perlindungan dari roh jahat, yang dipercaya dapat mengganggu keseimbangan sosial atau alam.

Proses Pembuatan Tato Tradisional

Proses pembuatan tato Dayak dilakukan secara tradisional dengan alat sederhana, seperti batang kayu kecil yang dilengkapi duri atau jarum dari tulang binatang, yang dicelupkan ke dalam jelaga atau arang. 

Berbeda dengan tato modern yang menggunakan mesin, metode manual ini membutuhkan ketelitian dan kesabaran, sering kali memakan waktu berjam-jam hingga berhari-hari tergantung pada kerumitan motif. 

Pengrajin tato, seperti Muling dari Dayak Iban, menjelaskan bahwa tato tradisional memiliki nilai sejarah yang tinggi dan prosesnya harus mematuhi aturan adat. Tato tidak hanya mencerminkan keindahan, tetapi juga ketahanan fisik dan mental pemiliknya, karena prosesnya sering kali menyakitkan dan memerlukan komitmen yang kuat.

Peran Tato dalam Pariwisata Budaya

Tradisi tato Dayak kini menjadi daya tarik wisata budaya yang unik, menarik perhatian wisatawan domestik maupun internasional. Acara seperti pameran Temu Jaringan Ekowisata Indonesia (TJEI) di Jakarta memperkenalkan seni tato Dayak kepada khalayak yang lebih luas. 

Pengunjung diajak untuk memahami makna filosofis di balik setiap ukiran, sekaligus menghargai kekayaan budaya Kalimantan. Kehadiran pengrajin tato seperti Muling di acara tersebut menunjukkan bahwa tradisi ini masih hidup dan terus dilestarikan, meskipun tantangan modernisasi mulai menggeser makna dan fungsi tato di kalangan generasi muda Dayak.