Kisah Penemu Kadal Purba di Pulau Komodo: Ternyata Bukan Orang Indonesia
- Jo Kenaru/ NTT
Lifestyle – Pulau Komodo, sebuah permata di Kepulauan Nusa Tenggara Timur, tidak hanya memikat dengan keindahan alamnya, tetapi juga menyimpan kisah bersejarah tentang penemuan kadal purba terbesar di dunia, Varanus komodoensis.
Pada tahun 1910, seorang perwira Belanda, Letnan Jacques Karel Henri van Steyn van Hensbroek, menjadi tokoh kunci yang membawa keberadaan hewan ini ke panggung dunia. Penemuan ini bukan hanya tonggak penting dalam dunia zoologi, tetapi juga membuka jalan bagi pengakuan global terhadap keunikan ekosistem Indonesia.
Bagaimana kisah di balik penemuan spektakuler ini terjadi, dan mengapa seorang asing dari negeri kincir angin menjadi pelopornya? Mari kita telusuri jejak sejarah yang mengguncang dunia ilmu pengetahuan.
Awal Mula Penemuan: Laporan Misterius dari Pulau Komodo
Pada awal abad ke-20, Pulau Komodo masih merupakan wilayah yang jarang dijamah dunia Barat. Cerita tentang “buaya darat” atau “naga” yang menghuni pulau terpencil ini telah lama menjadi bagian dari folklore masyarakat lokal, yang menyebut makhluk ini sebagai “Ora”.
Namun, kisah-kisah ini dianggap sebagai mitos oleh banyak orang hingga laporan dari pelaut Belanda di Flores mencapai telinga Letnan van Steyn van Hensbroek, seorang pejabat administrasi kolonial Belanda.
Menurut catatan sejarah, pada 1910, Van Steyn menerima informasi dari penduduk lokal tentang keberadaan kadal raksasa di Pulau Komodo, yang saat itu merupakan bagian dari wilayah Kesultanan Bima di bawah pengawasan kolonial Belanda di Reo, Flores.
Penasaran dengan laporan tersebut, Van Steyn memutuskan untuk menyelidiki sendiri. Ia memimpin ekspedisi ke Pulau Komodo, yang terletak di gugusan Kepulauan Sunda Kecil. Dengan persenjataan dan tim tentara terlatih, ia berhasil membunuh seekor kadal raksasa yang memiliki panjang sekitar 2,1 meter.
Makhluk ini bukanlah buaya, melainkan kadal monitor dengan ukuran luar biasa. Van Steyn mendokumentasikan temuannya dengan mengambil foto dan kulit hewan tersebut, yang kemudian dikirim ke Pieter Antonie Ouwens, Direktur Museum Zoologi dan Kebun Raya Buitenzorg (kini Kebun Raya Bogor).
Pengakuan Ilmiah: Lahirnya Nama Varanus komodoensis
Pieter Ouwens, seorang ilmuwan Belanda, memainkan peran penting dalam mengenalkan kadal raksasa ini ke dunia ilmiah. Setelah memeriksa spesimen yang dikirim oleh Van Steyn, Ouwens menyadari bahwa hewan ini adalah spesies baru yang belum terdokumentasikan.
Pada tahun 1912, ia menerbitkan jurnal ilmiah berjudul On a Large Varanus Species from an Island of Komodo di perpustakaan The New York Botanical Garden. Dalam publikasi ini, Ouwens secara resmi memberikan nama ilmiah Varanus komodoensis, merujuk pada lokasi penemuannya di Pulau Komodo.
Penemuan ini menggemparkan dunia zoologi, karena kadal ini dianggap sebagai “fosil hidup” yang menyerupai dinosaurus purba.
Keberadaan Komodo segera menarik perhatian dunia. Reptil raksasa ini, dengan panjang rata-rata 2-3 meter dan berat hingga 100 kg, menjadi simbol keajaiban alam. Publikasi Ouwens memicu rasa ingin tahu para ilmuwan Eropa, yang kemudian berbondong-bondong mengunjungi Pulau Komodo untuk melihat langsung hewan yang dijuluki “Komodo Dragon” ini.
Latar Belakang Van Steyn: Perwira Belanda di Tanah Kolonial
Jacques Karel Henri van Steyn van Hensbroek bukanlah ilmuwan, melainkan seorang perwira militer Belanda yang ditugaskan di wilayah Flores pada masa kolonial. Tugasnya sebagai bagian dari administrasi kolonial membuatnya sering berinteraksi dengan masyarakat lokal, yang menjadi sumber informasi awal tentang keberadaan kadal raksasa.
Meskipun bukan orang Indonesia, peran Van Steyn sangat signifikan dalam mengungkap keberadaan Komodo kepada dunia. Kisahnya menunjukkan bagaimana kolonialisme, meskipun kontroversial, turut berkontribusi pada penemuan ilmiah di wilayah terpencil seperti Komodo.
Dampak Penemuan: Konservasi dan Warisan Dunia
Penemuan Van Steyn pada 1910 tidak hanya menambah khazanah ilmu pengetahuan, tetapi juga menjadi langkah awal bagi upaya konservasi global. Pada tahun 1915, Pemerintah Kolonial Belanda mengeluarkan peraturan perlindungan terhadap Komodo dan Pulau Komodo, menjadikannya salah satu kawasan konservasi pertama di dunia.
Langkah ini diikuti dengan pendirian Taman Nasional Komodo pada 1980, yang kini mencakup Pulau Komodo, Rinca, Padar, Gili Motang, dan Nusa Kode. Pada 1991, UNESCO menetapkan Taman Nasional Komodo sebagai Situs Warisan Dunia, dan pada 2011, pulau ini masuk dalam daftar New7Wonders of Nature, bersama keajaiban alam seperti Hutan Amazon dan Air Terjun Iguazu.
Keberadaan Komodo juga memengaruhi pariwisata di Labuan Bajo, yang kini menjadi destinasi superprioritas di Indonesia. Data dari Kementerian Pariwisata RI menunjukkan bahwa pada kuartal pertama 2025, pergerakan wisatawan domestik mencapai 282,41 juta, dengan Labuan Bajo sebagai salah satu tujuan utama berkat daya tarik Komodo.
Wisatawan dapat menikmati pengalaman melihat kadal purba ini di habitat aslinya, sembari menjelajahi keindahan alam seperti Pink Beach dan perairan kaya biota laut di Taman Nasional Komodo.
Legenda Lokal dan Hubungan Manusia-Komodo
Selain aspek ilmiah, penemuan Komodo juga memperkuat hubungan budaya antara masyarakat lokal dan hewan ini. Legenda Putri Naga, yang populer di kalangan masyarakat Pulau Komodo, menceritakan tentang seorang putri yang melahirkan anak kembar: seorang manusia bernama Gerong dan seekor kadal bernama Ora.
Kisah ini mencerminkan pandangan masyarakat lokal yang menganggap Komodo sebagai saudara, bukan sekadar hewan liar. Legenda ini menambah dimensi budaya yang kaya pada keberadaan Komodo, menjadikannya lebih dari sekadar spesies zoologi, tetapi juga bagian dari identitas budaya Nusa Tenggara Timur.
Ekosistem Unik dan Tantangan Konservasi
Komodo, sebagai predator puncak, mendominasi ekosistem di Pulau Komodo dan pulau-pulau sekitarnya. Dengan kemampuan berlari hingga 20 km/jam dan berenang hingga 300 meter, hewan ini telah beradaptasi dengan lingkungan pulau yang keras.
Namun, aktivitas manusia seperti perburuan dan perubahan habitat telah mengurangi populasi Komodo, yang kini terdeteksi sekitar 2.793 ekor di alam liar. Upaya konservasi terus dilakukan untuk memastikan kelangsungan spesies ini, termasuk melalui pengelolaan Taman Nasional Komodo dan penelitian berkelanjutan.