Kampung Adat Wae Rebo, Desa Tersembunyi di Atas Awan Flores

Rumah Mbaru Niang Wae Rebo
Sumber :
  • Indonesia Kaya

Bentuk lingkaran Mbaru Niang melambangkan keseimbangan dan harmoni masyarakat Manggarai dengan alam, sementara tujuh rumah mencerminkan penghormatan terhadap tujuh gunung yang mengelilingi desa.

Menurut legenda, penduduk Wae Rebo merupakan keturunan suku Minangkabau dari Sumatera Barat. Nenek moyang mereka, Empo Maro, berlayar dari Sumatera hingga Labuan Bajo dan akhirnya menetap di Wae Rebo setelah mendapat petunjuk dalam mimpi. 

Desa ini telah berdiri selama lebih dari 1.200 tahun dan kini memasuki generasi ke-20, dengan satu generasi dihitung selama 60 tahun. Tradisi dan budaya leluhur tetap terjaga, salah satunya melalui upacara Penti yang diadakan setiap November sebagai ungkapan syukur atas hasil panen dan doa untuk keharmonisan. 

Selain itu, wisatawan dapat menyaksikan tarian tradisional seperti Rangku Alu, permainan yang melibatkan empat orang dengan tongkat bambu, serta Mbata, sebuah tradisi lisan berupa lagu petuah yang diiringi gendang.

Untuk mencapai Wae Rebo, wisatawan harus menempuh perjalanan darat dari Labuan Bajo ke Desa Denge selama sekitar 4-6 jam, diikuti pendakian kaki sejauh 4,5 km selama 2,5-3 jam melalui hutan lebat, sungai, dan jurang. Infrastruktur yang telah diperbaiki sejak 2006 membuat akses lebih mudah dibandingkan sebelumnya, meskipun tetap menantang. 

Wisatawan disarankan membawa air minum, makanan ringan, jas hujan, dan obat-obatan pribadi. Di Desa Denge, tersedia homestay dan pusat informasi sebelum melanjutkan perjalanan. Di Wae Rebo, pengunjung dapat menginap di Mbaru Niang khusus tamu dengan biaya sekitar Rp325.000 per orang, termasuk makan pagi, makan malam, dan minuman penyambut seperti kopi Flores.

Wisatawan yang berkunjung akan disambut dengan upacara adat Wae Lu’u sebagai tanda izin memasuki desa. Selain menikmati keindahan alam dan arsitektur Mbaru Niang, pengunjung dapat berinteraksi dengan warga, mempelajari proses pembuatan kain tenun dengan motif khas seperti Songke dan Congkar, serta melihat pengolahan kopi Flores dari panen hingga menjadi bubuk siap seduh. Kerajinan tangan seperti anyaman dan kopi dapat dibeli sebagai cendera mata. Desa ini juga menawarkan pengalaman fotografi yang luar biasa, dengan latar belakang perbukitan hijau dan rumah adat yang estetik.