Dijuluki Surga Tersembunyi, Ada Apa Aja Sih di Wae Rebo?
- Indonesia Kaya
Lifestyle –Wae Rebo, sebuah kampung adat di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur, mendapat julukan “surga tersembunyi” berkat keindahan alamnya yang memukau dan budaya autentik suku Manggarai yang terjaga.
Terletak di ketinggian 1.120 meter di atas permukaan laut, kampung ini dikelilingi pegunungan dan hutan tropis, menawarkan pengalaman wisata yang memadukan petualangan, budaya, dan ketenangan.
Rumah adat Mbaru Niang, yang meraih penghargaan UNESCO Asia-Pacific Heritage Award pada 2012, menjadi daya tarik utama, di samping tradisi lokal dan panorama alam yang menyerupai lukisan.
Rumah Adat Mbaru Niang
Daya tarik utama Wae Rebo adalah tujuh rumah adat Mbaru Niang, berbentuk kerucut dengan atap daun lontar yang nyaris menyentuh tanah. Nama Mbaru Niang berasal dari bahasa Manggarai, dengan mbaru berarti rumah dan niang merujuk pada bentuk bulat yang menjulang.
Dibangun tanpa paku, rumah-rumah ini menggunakan kayu worok, bambu, dan tali rotan, dengan atap ijuk yang tahan cuaca ekstrem. Setiap rumah memiliki lima tingkat dengan fungsi spesifik: Lutur untuk tinggal dan berkumpul, Lobo untuk menyimpan makanan, Lentar untuk benih, Lempa Rae untuk cadangan pangan, dan Hekang Kode untuk sesajen leluhur.
Susunan melingkar mengelilingi Compang, altar pusat, melambangkan harmoni sosial dan spiritual masyarakat Manggarai.
Kekayaan Budaya Manggarai
Wae Rebo adalah cerminan kehidupan komunal suku Manggarai. Setiap Mbaru Niang dihuni 6–8 keluarga, dengan Niang Gendang sebagai rumah utama untuk menyimpan pusaka seperti gendang adat.
Wisatawan dapat menyaksikan tradisi seperti Penti, upacara syukur tahunan yang diadakan setiap November untuk menghormati leluhur dan panen. Pertunjukan Caci, tarian bela diri tradisional dengan cambuk dan perisai, juga menjadi atraksi budaya yang menarik.
Warga setempat sering mengajarkan wisatawan tentang tenun songket atau tata cara membuat kopi Flores, memberikan pengalaman interaktif yang mendalam. Kehidupan sehari-hari, seperti bertani jagung dan kopi, mencerminkan kearifan lokal yang selaras dengan alam.
Pemandangan Alam yang Memukau
Wae Rebo dikelilingi tujuh puncak gunung dan hutan hujan tropis, menciptakan panorama yang sering disebut sebagai “surga di bumi.”
Pagi hari, kabut tipis menyelimuti kampung, menghadirkan suasana mistis, sementara matahari terbit memamerkan hamparan hijau lembah dan bukit. Sungai kecil Wae Lomba, yang dilewati saat trekking, menambah pesona dengan air jernihnya.
Flora seperti anggrek liar dan fauna seperti burung endemik Flores dapat ditemui di sepanjang jalur menuju kampung. Keindahan ini membuat Wae Rebo masuk peringkat kedua sebagai kota kecil terindah di dunia versi Time Out pada 2024, menarik wisatawan global.
Aktivitas Wisata di Wae Rebo
Perjalanan ke Wae Rebo dimulai dengan trekking selama 3–4 jam dari Desa Denge, melewati hutan, sawah, dan perbukitan. Jalur ini menantang namun memuaskan, dengan pemandangan yang berubah dari lembah hijau hingga kabut pegunungan.
Wisatawan dapat menginap di Mbaru Niang khusus tamu dengan biaya sekitar Rp300.000–400.000 per malam, termasuk makanan tradisional seperti nasi jagung dan sayur daun kelor. Aktivitas lain termasuk belajar tenun, mengikuti kelas memasak makanan lokal, atau mengamati kehidupan sehari-hari warga.
Fotografi alam dan budaya juga populer, tetapi wisatawan harus meminta izin sebelum memotret warga atau upacara adat.
Pengelolaan Ekowisata yang Berkelanjutan
Wae Rebo menerapkan prinsip ekowisata untuk menjaga kelestarian budaya dan lingkungan. Jumlah pengunjung dibatasi hingga 20–30 orang per hari, dan wisatawan wajib menggunakan pemandu lokal dari Desa Denge (biaya Rp200.000–300.000 per kelompok).
Tiket masuk sekitar Rp350.000–400.000 digunakan untuk pemeliharaan desa dan Mbaru Niang. Wisatawan diharapkan menghormati aturan adat, seperti mengenakan pakaian sopan dan tidak membuang sampah sembarangan.
Program pelestarian ini, yang didukung komunitas lokal dan organisasi seperti Tim Arsitektur Indonesia, memastikan Wae Rebo tetap autentik meski semakin populer.
Tips Berkunjung ke Wae Rebo
Musim kemarau (April–Oktober) adalah waktu terbaik untuk berkunjung, dengan jalur trekking yang lebih kering dan pemandangan yang jernih. Bawa sepatu trekking, pakaian hangat, dan jaket tahan air, karena suhu malam bisa mencapai 15°C.
Reservasi diperlukan melalui agen wisata atau komunitas lokal di Desa Denge untuk mengatur penginapan dan pemandu. Wisatawan juga disarankan membawa air minum (minimal 1,5 liter) dan camilan energi untuk trekking.
Jika tidak ingin berjalan kaki, opsi motor trail tersedia dengan biaya sekitar Rp500.000 per orang, meskipun trekking menawarkan pengalaman lebih kaya.