Nama Rumah Kerucut Wae Rebo yang Jadi Sorotan Dunia, Begini Asal-Usulnya
- Indonesia Kaya
Lifestyle –Tersembunyi di ketinggian 1.120 meter di atas permukaan laut, Kampung Wae Rebo di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT), menyimpan pesona budaya yang memikat dunia. Rumah adat Mbaru Niang, dengan bentuk kerucutnya yang khas, menjadi simbol kearifan lokal suku Manggarai dan menarik perhatian global, bahkan meraih penghargaan UNESCO Asia-Pacific Heritage Award for Cultural Heritage Conservation pada 2012.
Arsitektur unik, filosofi mendalam, dan keberlanjutan budaya yang terjaga membuat Mbaru Niang menjadi destinasi wisata budaya yang wajib dikunjungi.
Artikel ini akan mengulas asal-usul Mbaru Niang, makna filosofisnya, serta keunikan yang menjadikannya sorotan dunia.
Asal-Usul Nama Mbaru Niang
Nama Mbaru Niang berasal dari dua kata dalam bahasa Manggarai: mbaru yang berarti rumah, dan niang yang merujuk pada bentuk tinggi dan bulat. Nama ini mencerminkan karakteristik fisik rumah adat berbentuk kerucut yang meruncing ke atas, menyerupai lumbung dengan atap daun lontar yang nyaris menyentuh tanah.
Menurut legenda setempat, Mbaru Niang dirancang oleh nenek moyang suku Manggarai bernama Empo Maro, seorang pelaut dari Minangkabau yang bermigrasi ke Flores pada abad ke-18 untuk menghindari konflik kolonial.
Empo Maro mendirikan Kampung Wae Rebo dan membangun Mbaru Niang sebagai tempat tinggal yang selaras dengan alam dan budaya Manggarai. Nama Wae Rebo sendiri berasal dari kata wae (air) dalam bahasa Manggarai, merujuk pada sumber air yang menjadi pusat kehidupan desa.
Filosofi dan Makna Budaya
Mbaru Niang bukan sekadar tempat tinggal, melainkan cerminan filosofi hidup suku Manggarai. Bentuk kerucutnya melambangkan perlindungan dan persatuan, sementara alas lingkarannya mencerminkan harmoni serta keadilan antarwarga.
Tujuh rumah Mbaru Niang di Wae Rebo disusun melingkar mengelilingi altar pusat bernama Compang, yang dianggap sebagai titik sakral untuk memuja Tuhan dan leluhur. Jumlah tujuh rumah ini bukan kebetulan, melainkan penghormatan terhadap tujuh puncak gunung di sekitar Wae Rebo, yang diyakini sebagai pelindung desa.
Setiap rumah memiliki nama, seperti Niang Gendang (penyimpanan gendang dan pusaka) dan enam Niang Gena (rumah tinggal klan), mencerminkan struktur sosial komunal masyarakat Manggarai.
Keunikan Arsitektur Mbaru Niang
Mbaru Niang memiliki desain arsitektur vernakuler yang unik, dibangun tanpa paku menggunakan kayu worok, bambu, dan tali rotan untuk mengikat konstruksi. Atapnya terbuat dari daun lontar dan ijuk, memberikan perlindungan dari hujan deras dan angin kencang di pegunungan.
Rumah ini terdiri dari lima tingkat, masing-masing dengan fungsi spesifik: Lutur (lantai pertama) untuk tempat tinggal dan berkumpul, Lobo (lantai kedua) untuk menyimpan bahan makanan, Lentar (lantai ketiga) untuk benih tanaman, Lempa Rae (lantai keempat) untuk cadangan makanan saat paceklik, dan Hekang Kode (lantai kelima) untuk sesajen leluhur.
Tiang utama bernama siri bongkok atau hiri mehe menjadi penyangga utama, melambangkan kekuatan dan stabilitas. Kolong rumah setinggi 1 meter digunakan untuk menenun, menyimpan alat berkebun, atau memelihara ternak, sesuai aturan leluhur agar lantai tidak menyentuh tanah.
Proses Pembangunan dan Pelestarian
Pembangunan Mbaru Niang dilakukan secara gotong royong, dipandu oleh Tukang Niang (arsitek tradisional), dan diawali dengan ritual adat untuk meminta izin leluhur. Bahan bangunan diambil dari hutan sekitar, seperti kayu uwu untuk balok dan ijuk untuk atap.
Hingga abad ke-18, Mbaru Niang tetap lestari, meskipun pada 1990-an beberapa rumah runtuh. Pada 2008, hanya empat dari tujuh rumah tersisa, tetapi upaya konservasi oleh Tim Arsitektur Indonesia berhasil memulihkan jumlahnya menjadi tujuh pada 2010.
Keberhasilan ini membuat Wae Rebo meraih pengakuan UNESCO, mengukuhkan Mbaru Niang sebagai warisan budaya tak benda. Desa ini juga menjadi kandidat Aga Khan Award for Architecture pada 2013, menegaskan nilai arsitektur dan pelestariannya.
Daya Tarik Wisata dan Pengakuan Global
Keunikan Mbaru Niang dan keindahan alam Wae Rebo, yang dikelilingi pegunungan dan hutan hujan tropis, menjadikannya destinasi ekowisata favorit.
Untuk mencapai Wae Rebo, wisatawan harus menempuh perjalanan mendaki selama 3–4 jam dari Desa Denge, menawarkan pengalaman petualangan yang tak terlupakan.
Upacara adat seperti Penti, yang mengungkapkan syukur atas panen, dan Caci, pertunjukan bela diri tradisional, menambah daya tarik budaya. Pengelolaan pariwisata yang berkelanjutan, dengan pembatasan akses wisatawan dan pelibatan masyarakat lokal, memastikan pelestarian budaya dan lingkungan.
Pengakuan internasional, termasuk peringkat kedua sebagai kota kecil terindah di dunia versi Time Out, semakin mengukuhkan posisi Wae Rebo sebagai permata budaya Indonesia.
Kehidupan Komunal di Mbaru Niang
Setiap Mbaru Niang dihuni oleh 6–8 keluarga, dengan total 15–20 orang, mencerminkan kehidupan komunal yang erat. Ruang Lutur berfungsi sebagai area publik untuk menerima tamu dan bersosialisasi, sementara Nolang mencakup dapur dan kamar tidur.
Sistem pendidikan adat informal mengajarkan anak-anak tentang sejarah, bahasa, dan cara membangun Mbaru Niang, memastikan warisan budaya tetap hidup.
Keberadaan Compang sebagai pusat spiritual menggarisbawahi pentingnya hubungan manusia dengan alam, leluhur, dan Tuhan, menjadikan Mbaru Niang lebih dari sekadar rumah, tetapi pusat kehidupan sosial dan spiritual.