Mengenal Ruwatan, Ritual Pembersihan Nasib Buruk di Jawa

Anak-anak di Dieng
Sumber :
  • Wonderful Indonesia

LifestyleRuwatan, sebuah tradisi kuno yang kaya akan nilai spiritual, menjadi salah satu warisan budaya Jawa yang masih lestari hingga kini. Ritual ini tidak hanya menawarkan makna mendalam tentang penyucian diri dari energi negatif, tetapi juga menjadi daya tarik wisata budaya yang memikat wisatawan domestik maupun mancanegara.

Berakar dari kepercayaan Jawa kuno yang dipadukan dengan elemen Hindu-Buddha dan Islam, ruwatan bertujuan untuk membebaskan seseorang dari nasib buruk atau "sukerta" yang diyakini dapat mengganggu kehidupan.

Dalam konteks wisata, ruwatan menawarkan pengalaman unik untuk menyaksikan kekayaan tradisi Jawa yang sarat makna, mulai dari prosesi sakral hingga pertunjukan wayang kulit yang memukau.

Asal-Usul dan Makna Ruwatan

Ruwatan berasal dari kata "ruwat" dalam bahasa Jawa yang berarti "dilepas" atau "dibebaskan." Ritual ini bertujuan untuk menghilangkan kesialan, melindungi seseorang dari bahaya, dan mengembalikan keseimbangan spiritual.

Menurut kepercayaan Jawa, seseorang yang disebut "sukerta"—seperti anak tunggal (ontang-anting), anak kembar, atau mereka yang lahir pada waktu tertentu seperti saat matahari terbenam—dianggap rentan terhadap gangguan makhluk halus, terutama Batara Kala, dewa waktu yang dikaitkan dengan malapetaka.

Asal-usul ruwatan dapat ditelusuri dari cerita pewayangan, khususnya lakon Murwakala, yang menceritakan tentang Batara Kala yang diizinkan memangsa manusia dengan nasib buruk oleh Batara Guru, dengan syarat mereka yang diruwat akan terbebas dari ancaman tersebut.

Secara historis, ruwatan telah ada sejak era Hindu-Buddha di Jawa, sebagaimana tercatat dalam teks kuno seperti Serat Centhini dan Kakawin Arjunawiwaha. Tradisi ini kemudian berkembang dengan masuknya pengaruh Islam, di mana doa-doa dan mantra dipadukan dengan nilai-nilai keimanan. Ruwatan tidak hanya menjadi ritual spiritual, tetapi juga simbol harmoni antara manusia, alam, dan kekuatan gaib.

Prosesi Ruwatan dan Daya Tarik Wisata

Pelaksanaan ruwatan melibatkan serangkaian prosesi yang kaya akan simbolisme. Ritual ini biasanya dimulai dengan persiapan sajen, seperti nasi kuning, tumpeng, bunga, dan kain, yang berfungsi sebagai sarana komunikasi dengan dunia gaib.

Prosesi utama mencakup siraman (pembersihan dengan air suci yang mengandung kembang tujuh rupa), pemotongan rambut sebagai simbol pelepasan dosa, dan pertunjukan wayang kulit dengan lakon Murwakala. Dalang, sebagai pemimpin ritual, memainkan peran penting dengan membacakan mantra dan mengisahkan cerita untuk mengusir energi negatif.

Di beberapa daerah, seperti Dieng, ruwatan anak berambut gimbal menjadi daya tarik utama, terutama saat Dieng Culture Festival, yang menarik ribuan wisatawan setiap tahunnya.

Bagi wisatawan, ruwatan menawarkan pengalaman budaya yang autentik. Di Yogyakarta dan Solo, ritual ini sering diadakan di keraton atau desa-desa wisata, seperti Giripanggung di Gunungkidul, yang memadukan pertunjukan wayang dengan suasana pedesaan yang asri. Wisatawan dapat menyaksikan prosesi secara langsung, belajar tentang filosofi Jawa, dan bahkan berpartisipasi dalam kegiatan pendukung seperti membuat sajen atau mengikuti workshop budaya. 

Selain itu, ruwatan massal, seperti yang diadakan di Taman Mini Indonesia Indah pada Juli 2024, memberikan kesempatan bagi wisatawan untuk merasakan atmosfer komunal yang mempererat silaturahmi antarpeserta.

Destinasi Wisata Terkait Ruwatan

Jawa Tengah dan Yogyakarta menjadi pusat pelaksanaan ruwatan yang menarik untuk dikunjungi. Di Wonosobo, Dieng Culture Festival menjadi ajang tahunan yang memadukan ritual ruwatan anak berambut gimbal dengan pameran budaya dan wisata alam. 

Wisatawan dapat menikmati keindahan dataran tinggi Dieng sambil menyaksikan prosesi pemotongan rambut gimbal yang dipercaya sebagai titipan Ratu Kidul. Di Yogyakarta, Keraton Yogyakarta sering menggelar ruwatan pada bulan Suro, yang bertepatan dengan tahun baru Islam, menambah nilai sakral acara tersebut. 

Desa wisata seperti Desa Pulungdowo di Malang juga menawarkan pengalaman ruwatan yang lebih intim, dengan suasana pedesaan yang kental akan tradisi Kejawen.

Selain itu, destinasi seperti Candi Borobudur dan Prambanan sering dikaitkan dengan nilai spiritual ruwatan karena relief-relief candi yang menggambarkan cerita penyucian, seperti Garudeya dan Sri Tanjung. Wisatawan dapat mempelajari konteks historis ruwatan sambil menikmati keindahan arsitektur candi. 

Untuk pengalaman yang lebih modern, Taman Mini Indonesia Indah di Jakarta menyediakan replika budaya Jawa dan mengadakan ruwatan secara berkala, menjadikannya pilihan yang mudah diakses bagi wisatawan urban.