Mitos Kapuhunan, Benarkah Tolak Makanan dari Orang Kalimantan Sebabkan Kesialan?

Bubur Samarinda
Sumber :
  • Wonderful Indonesia

LifestyleKalimantan, pulau yang dikenal dengan julukan "Pulau Seribu Sungai," tidak hanya menawarkan keindahan alam berupa hutan hujan tropis dan sungai-sungai megah, tetapi juga kekayaan budaya yang mendalam. Salah satu tradisi yang menarik perhatian wisatawan adalah mitos kapuhunan, sebuah kepercayaan masyarakat lokal yang mengaitkan penolakan makanan atau minuman yang ditawarkan dengan risiko kesialan atau musibah. 

Mitos ini, yang masih dipegang teguh oleh sebagian masyarakat suku Banjar, Dayak, dan Melayu di Kalimantan, mencerminkan nilai-nilai keramahan dan saling menghormati dalam budaya setempat. Artikel ini mengupas asal-usul kapuhunan, makna budayanya, serta tips bagi wisatawan yang ingin menghormati tradisi ini saat menjelajahi Kalimantan.

Asal-Usul dan Makna Kapuhunan

Istilah kapuhunan berasal dari bahasa Banjar, dengan akar kata puhun yang berarti "pohon," namun dalam konteks ini merujuk pada keinginan yang tidak terpenuhi atau penolakan terhadap tawaran. Menurut Prof. Abdul Djebar Hapip, kapuhunan diartikan sebagai situasi yang dapat mendatangkan celaka atau bencana karena mengabaikan tawaran makanan atau minuman. 

Awalnya, kepercayaan ini dikaitkan dengan gangguan roh penjaga pohon atau makhluk gaib, tetapi seiring waktu, maknanya berkembang menjadi kesialan akibat tidak menghormati keramahan tuan rumah. Tradisi ini mencerminkan budaya saling berbagi dan menjaga harmoni sosial, yang sangat dijunjung tinggi di Kalimantan.

Dalam masyarakat Banjar, kapuhunan sering dikaitkan dengan pengalaman pribadi atau cerita turun-temurun. Misalnya, seseorang yang menolak makanan yang ditawarkan kemudian mengalami kecelakaan kecil, seperti tersandung atau jatuh, dianggap terkena kapuhunan. 

Kepercayaan ini diperkuat oleh nilai-nilai adat yang mengajarkan tata cara menerima jamuan sebagai bentuk penghormatan. Mitos ini juga dikenal dengan istilah kemponan di kalangan masyarakat Melayu Pontianak, Kalimantan Barat, dengan makna serupa, yaitu menghargai pemberian untuk menghindari sugesti negatif yang dapat menyebabkan musibah.

Praktik Kapuhunan dalam Kehidupan Sehari-Hari

Dalam praktiknya, kapuhunan tidak hanya berlaku saat seseorang menolak makanan secara langsung, tetapi juga ketika seseorang memiliki keinginan untuk makan atau minum sesuatu namun tidak memenuhinya. Untuk menghindari kesialan, masyarakat Kalimantan memiliki cara-cara tertentu. 

Salah satunya adalah bajapai atau menyentuh makanan dengan jari, lalu menempelkannya ke leher, sebagai tanda penerimaan secara simbolis. Alternatif lain adalah mengucapkan kata-kata seperti sapulun atau puse-puse, yang berarti menerima tawaran dengan hormat, meskipun tidak makan banyak.

Makanan tertentu, seperti kopi, ketan, atau wadi (ikan fermentasi khas Kalimantan), diyakini memiliki pengaruh kuat jika ditolak. Misalnya, menolak kopi yang ditawarkan dianggap dapat memicu musibah lebih besar dibandingkan makanan lain. Jika seseorang merasa kenyang, cukup mencicipi sedikit atau melakukan bajapai untuk menunjukkan penghormatan. Tradisi ini juga berlaku saat berkunjung ke rumah warga, terutama selama acara seperti hari raya, di mana tamu diwajibkan mencicipi hidangan agar tidak dianggap melanggar adat.

Dampak Psikologis dan Budaya Kapuhunan

Dari perspektif psikologi, kepercayaan terhadap kapuhunan dapat memengaruhi perilaku masyarakat melalui persepsi dan kecemasan. Menurut penelitian oleh Putri (2019), persepsi negatif terhadap kapuhunan membuat seseorang merasa cemas atau was-was jika lupa mencicipi makanan yang ditawarkan. 

Kecemasan ini muncul dari pengalaman budaya yang menghubungkan penolakan makanan dengan musibah, diperkuat oleh cerita-cerita dari generasi sebelumnya. Namun, tradisi ini juga memiliki sisi positif, yaitu memperkuat ikatan sosial dan nilai keramahan dalam komunitas.

Kapuhunan telah terdaftar sebagai warisan budaya tak benda Indonesia dari Provinsi Kalimantan Timur, menunjukkan pentingnya dalam identitas budaya lokal. Tradisi ini juga mengajarkan wisatawan untuk menghargai adat istiadat setempat, sebagaimana pepatah “di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung.” 

Meskipun tidak ada bukti ilmiah yang mendukung hubungan antara penolakan makanan dan kesialan, kapuhunan tetap menjadi bagian integral dari budaya Kalimantan, terutama di kalangan masyarakat Banjar dan Dayak.

Tips untuk Wisatawan di Kalimantan

Bagi wisatawan yang berkunjung ke Kalimantan, memahami mitos kapuhunan dapat membantu menjalin hubungan baik dengan masyarakat lokal. Pertama, jika ditawari makanan atau minuman, cobalah mencicipi sedikit, meskipun hanya seujung jari, untuk menunjukkan penghormatan. 

Jika tidak ingin makan, sentuh makanan dengan jari dan ucapkan sapulun atau puse-puse sebagai tanda penerimaan. Kedua, komunikasikan dengan sopan jika Anda memiliki batasan, misalnya hanya menerima air putih, untuk menghindari kesalahpahaman. Ketiga, pelajari konteks budaya setempat, terutama saat mengunjungi daerah pedesaan atau acara adat, di mana tradisi ini lebih kuat dipegang.

Wisatawan juga dapat menikmati pengalaman budaya ini dengan mengunjungi pasar tradisional atau festival kuliner di Kalimantan, seperti Pasar Terapung di Banjarmasin atau Festival Budaya Dayak di Samarinda, untuk mencicipi hidangan lokal sambil memahami nilai-nilai keramahan. 

Dengan menghormati tradisi kapuhunan, wisatawan tidak hanya menghindari potensi “kesialan” dalam pandangan lokal, tetapi juga memperkaya pengalaman perjalanan mereka dengan wawasan budaya yang autentik.