Stop Stigma! 5 Mitos Tentang Disabilitas Rungu yang Harus Dihentikan
- Freepik
Lifestyle – Setiap tanggal 23 September, dunia memperingati Hari Bahasa Isyarat Internasional (HBII), sebuah momen krusial untuk mengukuhkan pengakuan atas bahasa isyarat sebagai bahasa yang sah dan vital. Perayaan ini bukan sekadar seremonial, melainkan ajakan kolektif untuk meruntuhkan tembok penghalang komunikasi dan sosial yang selama ini membatasi penyandang disabilitas rungu.
Di Indonesia, berbagai inisiatif terus digulirkan, seperti program “Teman Setara” oleh Grab Indonesia, yang bertujuan menciptakan ekosistem inklusif melalui edukasi dan pelatihan bahasa isyarat bagi mitra pengemudi dan merchant.
Inisiatif seperti Teras Perwira—yang telah menjadi agenda berkelanjutan Grab dan tahun ini berkolaborasi dengan GERKATIN, Pusbisindo, dan Konekin—secara eksplisit berupaya menghapus stigma terhadap disabilitas rungu.
Stigma ini seringkali berakar dari kesalahpahaman atau mitos yang telah mengakar di masyarakat. Untuk benar-benar mewujudkan kesetaraan, langkah pertama yang wajib kita ambil adalah mengenali dan menghentikan 5 mitos umum tentang disabilitas rungu yang harus Anda luruskan segera.
1. Mitos: Semua Individu Disabilitas Rungu Pasti Bisa Membaca Bibir
Fakta: Ini adalah salah satu mitos yang paling umum dan berbahaya. Membaca bibir (lip-reading) adalah keterampilan yang sangat sulit dan tidak semua individu rungu mampu melakukannya. Faktanya, hanya sekitar 30-40% bahasa lisan yang dapat dipahami melalui gerakan bibir.
Akurasi pemahaman sangat bergantung pada kecepatan bicara, pencahayaan, dan kemiripan pengucapan beberapa kata.
Asumsi bahwa mereka dapat membaca bibir secara penuh justru seringkali menimbulkan frustrasi dan kesalahpahaman dalam komunikasi.
“Bahasa isyarat adalah bahasa kesetaraan. Teras Perwira... tidak hanya mengajarkan bahasa isyarat... tetapi juga membuka pemahaman yang lebih dalam tentang budaya Tuli," kata Director of Digital and Sustainability, Grab Indonesia, Rivana Mezaya, dalam keterangannya.
Mempelajari bahasa isyarat (seperti BISINDO di Indonesia) jauh lebih efektif dan merupakan bentuk penghormatan terhadap bahasa ibu mereka.
2. Mitos: Tunarungu dan Tuli Adalah Istilah yang Sama
Fakta: Dalam konteks inklusivitas dan Budaya Tuli, kedua istilah ini memiliki perbedaan makna yang signifikan.
Tunarungu (hard of hearing atau hearing impaired) seringkali mengacu pada kondisi medis yang berfokus pada hilangnya fungsi pendengaran. Istilah ini sering dianggap berkonotasi negatif atau "kekurangan" yang harus diperbaiki.
Tuli (dengan huruf 'T' kapital) merujuk pada identitas kultural dan linguistik. Komunitas Tuli bangga dengan identitas mereka, menggunakan bahasa isyarat sebagai bahasa utama mereka, dan memiliki norma, nilai, serta sejarah yang unik.
Penyandang disabilitas rungu yang mengidentifikasi diri sebagai bagian dari Komunitas Tuli lebih memilih istilah Tuli. Menggunakan bahasa isyarat dan menghargai Budaya Tuli adalah wujud nyata dukungan terhadap kesetaraan, bukan sekadar mengatasi "kekurangan" pendengaran.
3. Mitos: Orang Rungu Tidak Dapat Menyetir atau Bekerja dengan Baik
Fakta: Anggapan bahwa keterbatasan pendengaran menghalangi kemampuan seseorang untuk melakukan pekerjaan yang kompleks atau tugas yang membutuhkan kewaspadaan (seperti menyetir) adalah mitos yang sepenuhnya keliru. Individu rungu memiliki indra visual yang sangat terasah dan dapat sepenuhnya memenuhi persyaratan lisensi mengemudi.
Program Teman Setara
- Istimewa
Dalam konteks pekerjaan, mereka adalah pekerja yang berdaya dan berintegritas. Inisiatif GrabAccess dan Teman Setara membuktikan hal ini, di mana pada tahun 2024, tercatat sebanyak 135.000 Mitra Perempuan dan Mitra Penyandang Disabilitas telah memperoleh penghasilan melalui platform Grab.
Melalui pelatihan, mereka justru menjadi lebih percaya diri. Ibu Yani, pemilik kedai Gado Gado Seruni yang mengikuti lokakarya, mengatakan, “Mengikuti pelatihan ini membuat saya jauh lebih percaya diri saat berinteraksi dengan Mitra Pengemudi maupun pelanggan disabilitas rungu.”
Kemampuan bekerja mereka hanya dibatasi oleh kurangnya akses dan komunikasi yang inklusif.
4. Mitos: Bahasa Isyarat Itu Universal dan Sama di Seluruh Dunia
Fakta: Sama seperti bahasa lisan, bahasa isyarat juga beragam dan spesifik di setiap negara, bahkan dapat bervariasi secara regional. Di Indonesia sendiri, bahasa isyarat yang diakui dan dikembangkan oleh komunitas Tuli adalah BISINDO (Bahasa Isyarat Indonesia), yang berbeda dengan SIBI (Sistem Isyarat Bahasa Indonesia) yang digunakan di institusi pendidikan formal.
Penting untuk memahami bahwa bahasa isyarat adalah bahasa alami dengan tata bahasa dan struktur yang kompleks—bukan sekadar terjemahan dari kata per kata bahasa lisan. Pengenalan dan edukasi yang dilakukan oleh Grab melalui kolaborasi dengan Pusbisindo (Pusat Bahasa Isyarat Indonesia) dalam acara Teras Perwira menunjukkan komitmen untuk mempromosikan bahasa isyarat yang benar dan diakui oleh komunitas.
5. Mitos: Komunikasi Terbaik adalah dengan Berteriak atau Berbicara Lebih Keras
Fakta: Berbicara dengan suara yang lebih keras atau berteriak tidak akan membantu individu rungu memahami Anda, dan justru dapat menjadi gestur yang kasar atau tidak nyaman. Komunikasi yang efektif harus berfokus pada visual dan kejelasan.
Jika Anda belum menguasai bahasa isyarat, tips terbaik adalah berbicara dengan kecepatan normal, namun pastikan wajah Anda terlihat jelas (tanpa tertutup tangan atau masker), pertahankan kontak mata, dan gunakan gestur tubuh yang mendukung pesan Anda.
Langkah yang diambil Grab dengan menyediakan informasi bahasa isyarat di layanan GrabCar dan lokakarya interaktif adalah solusi nyata untuk menjembatani komunikasi, menunjukkan bahwa bahasa isyarat adalah kunci untuk komunikasi yang setara.