Pola Asuh VOC Masih Dipakai Orang Tua? Ini 7 Dampaknya pada Anak
- Freepik
Lifestyle – Dalam dunia parenting modern, istilah “pola asuh VOC” kini sering digunakan secara metaforis untuk menggambarkan gaya pengasuhan yang otoriter, keras, dan menekan, mirip dengan cara kolonial Belanda (VOC) memperlakukan rakyat jajahannya.
Istilah ini tidak berasal dari teori psikologi resmi, tapi menjadi sindiran tajam untuk orang tua yang mendidik anak tanpa empati dan cenderung semena-mena.
Gaya pengasuhan seperti ini mungkin terlihat efektif dalam menciptakan anak yang patuh dan disiplin. Namun, di balik kepatuhan itu, sering tersembunyi rasa takut, tekanan mental, dan luka batin yang tidak selalu tampak dari luar.
Dalam jangka panjang, pola asuh semacam ini justru bisa merusak kesehatan psikologis dan relasi anak dengan orang tuanya. Agar Anda lebih waspada, berikut adalah 7 efek buruk pola asuh VOC yang perlu dihindari.
1. Anak Tumbuh dengan Rasa Takut, Bukan Rasa Hormat
Anak yang dibesarkan dengan pola asuh otoriter seperti VOC akan belajar untuk takut pada orang tuanya, bukan menghormatinya. Semua tindakan mereka dilakukan karena takut dihukum, bukan karena kesadaran atau rasa tanggung jawab. Hal ini bisa membuat anak menyembunyikan kesalahan, berbohong, atau bersikap pasif demi menghindari amarah orang tua.
2. Sulit Mengekspresikan Diri
Pola asuh yang terlalu menekan membuat anak terbiasa memendam perasaan, karena merasa setiap pendapat akan dibantah atau diabaikan. Anak jadi tidak terbiasa menyampaikan apa yang ia rasakan atau butuhkan, yang kelak bisa berdampak pada kesehatan mental dan hubungan sosial di masa dewasa.
3. Rendah Diri dan Takut Gagal
Orang tua ala VOC sering kali menuntut anak untuk sempurna dan tidak memberi ruang untuk kesalahan. Padahal, gagal adalah bagian penting dari proses belajar. Akibatnya, anak bisa tumbuh dengan rasa rendah diri, takut mencoba hal baru, bahkan merasa tidak pernah cukup baik, meskipun telah berusaha maksimal.
4. Rentan Mengalami Stres dan Gangguan Emosi
Tekanan yang terus-menerus dari rumah membuat anak lebih mudah stres, cemas, atau bahkan depresi. Mereka hidup dalam bayang-bayang ekspektasi dan hukuman. Anak yang tidak punya ruang aman di rumah rentan mengalami gangguan emosi sejak usia dini, yang berdampak panjang hingga dewasa.
5. Hubungan Anak dan Orang Tua Jadi Renggang
Dalam pola asuh yang penuh ketakutan, anak tidak akan nyaman bercerita kepada orang tuanya. Bahkan ketika sedang mengalami masalah serius, ia akan memilih diam atau mencari pelarian di luar. Ini membuat ikatan emosional orang tua-anak menjadi lemah dan tidak saling percaya.
6. Anak Bisa Meniru Pola Kekerasan
Anak belajar dari teladan. Jika orang tua mendidik dengan cara menekan, memarahi, atau menghukum fisik, besar kemungkinan anak akan meniru cara tersebut saat menghadapi orang lain. Ini bisa membentuk siklus kekerasan yang terus berulang di masa depan—baik dalam hubungan sosial maupun saat mereka kelak menjadi orang tua.
7. Tidak Tumbuh Jadi Anak yang Mandiri
Pola asuh VOC cenderung tidak memberi ruang anak untuk mengambil keputusan sendiri. Semua diatur dan ditentukan orang tua. Akibatnya, anak tidak belajar mengambil tanggung jawab dan tidak percaya pada kemampuannya sendiri. Mereka akan terus bergantung dan sulit mandiri saat dewasa nanti.
Beralihlah ke Pola Asuh Demokratis
Mengasuh anak bukan tentang membuat mereka takut dan tunduk, tapi tentang membimbing, mendengar, dan menghargai. Pola asuh yang sehat harus menciptakan ruang aman bagi anak untuk belajar, tumbuh, dan menjadi diri mereka sendiri.
Daripada meniru pola VOC yang otoriter dan penuh tekanan, beralihlah ke pola asuh demokratis, yakni gabungan antara ketegasan dan kehangatan. Dengan begitu, anak akan tumbuh menjadi pribadi yang percaya diri, empatik, dan bermental tangguh.