Negara-negara dengan Tren Childfree Tinggi dan Dampaknya pada Demografi

Wanita Korea
Sumber :
  • Pixabay

Lifestyle –Fenomena childfree, yaitu keputusan sadar untuk tidak memiliki anak, semakin menonjol di berbagai negara, terutama di negara-negara maju dengan tingkat pendidikan dan urbanisasi yang tinggi. Pilihan ini tidak hanya mencerminkan perubahan nilai sosial, tetapi juga membawa konsekuensi signifikan terhadap struktur demografi dan perekonomian. 

Negara-negara seperti Jepang, Korea Selatan, dan beberapa negara Eropa telah mencatat penurunan angka kelahiran yang drastis, sebagian besar dipengaruhi oleh meningkatnya jumlah individu yang memilih gaya hidup childfree. Artikel ini akan mengulas negara-negara dengan tren childfree tinggi, faktor pendorongnya, serta dampaknya terhadap demografi berdasarkan data terkini dan studi terpercaya.

Negara-negara dengan Tren Childfree Tinggi

Tren childfree paling menonjol di negara-negara Asia Timur dan Eropa. Menurut data dari Central Intelligence Agency (CIA) pada 2024, Korea Selatan memiliki Total Fertility Rate (TFR) terendah di dunia, yaitu 0,87, diikuti oleh Taiwan (1,11) dan Singapura (1,14). 

Jepang juga mencatat TFR rendah di angka 1,42. Di Eropa, negara seperti Italia dan Spanyol memiliki TFR di bawah 1,3. Angka TFR di bawah 2,1, yang dikenal sebagai replacement rate, menunjukkan bahwa populasi tidak dapat mempertahankan jumlahnya tanpa imigrasi.

Di Korea Selatan, hanya 23% perempuan berusia 25-29 tahun yang menikah pada 2015, turun drastis dari 90% pada 1970. Banyak yang memilih childfree karena tekanan ekonomi, biaya hidup tinggi, dan prioritas karier. 

Jepang menghadapi situasi serupa, dengan penurunan kelahiran sejak 1970-an. Pada semester pertama 2024, jumlah kelahiran di Jepang hanya 350.074, rekor terendah sepanjang sejarah. Italia juga melaporkan peningkatan childfree permanen sejak 1950-an, terutama di daerah perkotaan.

Faktor Pendorong Tren Childfree

Beberapa faktor utama mendorong tren childfree di negara-negara ini. Pertama, peningkatan pendidikan perempuan berperan besar. Perempuan dengan pendidikan tinggi cenderung menunda pernikahan atau memilih tidak memiliki anak untuk fokus pada karier. Studi dari Universitas Toronto menunjukkan korelasi antara pendidikan perempuan dan penurunan TFR.

Kedua, biaya hidup dan pengasuhan anak yang tinggi menjadi penghalang. Di Jepang, biaya pendidikan dan perumahan di perkotaan membuat banyak pasangan enggan memiliki anak. 

Ketiga, perubahan norma sosial, seperti penerimaan terhadap gaya hidup lajang atau childfree, juga memengaruhi. Di Korea Selatan, tingginya tekanan kerja dan kurangnya dukungan untuk work-life balance memperburuk situasi.

Keempat, kekhawatiran lingkungan mendorong beberapa individu memilih childfree. Menurut Environmental Research Letters (2017), tidak memiliki anak di negara maju dapat mengurangi jejak karbon secara signifikan, menjadi alasan bagi sebagian pasangan.

Dampak Demografi: Penuaan Populasi

Tren childfree berkontribusi pada penuaan populasi (aging population), di mana proporsi lansia meningkat sementara usia produktif menurun. Di Jepang, pada 2017, 27,7% penduduk berusia 65 tahun ke atas, sementara hanya 12,3% di bawah 14 tahun. 

Pada 2023, populasi Jepang menyusut menjadi 121,6 juta, turun 861.000 dari tahun sebelumnya. Situasi serupa terjadi di Korea Selatan, dengan kelahiran 2023 hanya 230.000, turun 7,7% dari 2022.

Penuaan populasi menyebabkan rasio ketergantungan (dependency ratio) meningkat, di mana pekerja usia produktif harus mendukung lebih banyak lansia. Ini membebani sistem pensiun dan layanan kesehatan. Di Jepang, krisis tenaga kerja telah muncul karena kurangnya pekerja muda, menghambat pertumbuhan ekonomi.

Dampak Ekonomi dan Sosial

Penurunan TFR akibat childfree berdampak pada ekonomi. Menurut World Economic Forum, penuaan populasi dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi karena berkurangnya tenaga kerja dan konsumsi.

 Jepang mengalami stagnasi ekonomi selama tiga dekade, sebagian karena rendahnya kelahiran. Korea Selatan menghabiskan Rp4.456 triliun selama 20 tahun untuk insentif kelahiran, namun TFR tetap rendah.

Secara sosial, childfree dapat mengubah struktur keluarga. Di negara-negara Barat, komunitas childfree seperti We Are Childfree dan Childfree Connection menunjukkan bahwa individu tetap menjalin hubungan erat dengan keluarga besar tanpa anak. Namun, di Asia Timur, di mana keluarga tradisional masih dihargai, pilihan ini sering memicu stigma.

Upaya Pemerintah Mengatasi Tren Childfree

Banyak negara berupaya membalikkan tren ini. Jepang memperkenalkan cuti pengasuhan dan penitipan anak bersubsidi sejak 1990-an, namun hasilnya minim. Korea Selatan menawarkan insentif finansial, seperti subsidi perumahan dan kesehatan untuk keluarga. 

China, setelah menghapus kebijakan satu anak, kini mengizinkan tiga anak per pasangan, namun kelahiran 2023 hanya 9,02 juta, terendah dalam sejarah. Upaya ini menunjukkan tantangan besar dalam mengubah preferensi individu.