Survei Terbaru: Tren Pasangan Muda di Perkotaan Lebih Memilih Childfree
- Freepik
Lifestyle –Fenomena lifestyle childfree semakin mendapat sorotan, terutama di kalangan pasangan muda urban di Indonesia. Baru-baru ini, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data bahwa sebanyak 8,2% perempuan usia 15–49 tahun yang pernah menikah memilih untuk tidak memiliki anak pada tahun 2022.
Angka ini meningkat dari 7% pada 2019, setara dengan sekitar 71.000 orang. Tren tersebut menandakan pergeseran nilai keluarga tradisional ke arah yang lebih individualistis, dipicu oleh tekanan ekonomi, mobilitas urban, dan pergeseran nilai budaya.
Perkembangan Data Survei Childfree di Indonesia
Menurut Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) 2022, prevalensi perempuan menikah tanpa anak mencapai 8,2%, setara dengan ±71.000 orang. Catatan BPS juga menyatakan bahwa mayoritas perempuan yang memilih childfree berada di kawasan urban seperti Jakarta, Banten, Jawa Barat dan Jawa Tengah. Sementara itu, angka total fertility rate (TFR) nasional terus menurun, dari 3,10 pada 1990 menjadi sekitar 2,15 di 2022—menandakan demografi Indonesia menuju struktur usia produktif yang menyusut.
Faktor Penyebab Lingkungan Perkotaan
Analisis dari berbagai sumber menyebutkan sejumlah faktor utama penyebab meningkatnya tren childfree di kawasan urban:
1. Kondisi Ekonomi dan Biaya Hidup
Biaya hidup di kota terutama Jakarta—seperti perumahan, konsumsi, maupun pendidikan—terus meningkat. Pada 2022, biaya hidup keluarga di Jakarta mencapai Rp14–15 juta/bulan, sedangkan upah minimum hanya Rp4,65 juta. Lonjakan beban tersebut mendorong 76% keluarga sulit membiayai pendidikan anak.
2. Nilai Budaya dan Individualisme
Akses pendidikan tinggi dan pengaruh gaya hidup Barat menumbuhkan orientasi hidup yang lebih individualistis. Keyakinan bahwa kebahagiaan hidup berakar pada pilihan bebas mendapatkan ruang, termasuk pada pilihan tidak punya anak.
3. Tekanan Sosial dan Mental
Pasangan muda melaporkan tekanan mental dan beban emosional akibat tanggung jawab pengasuhan. Banyak di antara mereka yang memilih childfree agar dapat menjaga keseimbangan mental, terutama di area urban.
Wawasan dari Survei Akademik
Beberapa studi penelitian menyoroti faktor kualitatif dan persepsi terhadap childfree:
Penelitian UIN Bandung (April 2024) pada 100 mahasiswa menunjukkan bahwa sebagian besar menilai childfree negatif, namun sebagian kecil menyatakan positif dan memilih gaya hidup ini karena kesadaran rasional dan personal.
Studi Universitas Negeri Yogyakarta terhadap 53 responden usia 20–59 tahun menemukan bahwa keputusan childfree dipengaruhi oleh pengetahuan, opini pribadi, stigma sosial, dan gender.
Kasus influencer Gita Savitri memicu diskusi publik luas; reaksi masyarakat mencerminkan adanya perdebatan berdasarkan sudut pandang sosial-budaya dan agama.
Dampak Demografi dan Kebijakan Publik
Penurunan angka fertilitas dan meningkatnya pernikahan tanpa anak dapat mempengaruhi struktur demografi nasional. Menurut info dari Universitas Indonesia, angka registrasi pernikahan turun dari 2,016 juta (2018) ke 1,577 juta (2023). TFR yang turun ke kisaran 2,18 (2020) dan diproyeksikan 1,97 pada 2045 berpotensi mencabut Indonesia dari "bonus demografi" lebih cepat.
Kementerian seperti BKKBN perlu merespons fenomena childfree secara hati-hati. Artikel IPB University (Mei 2025) mengingatkan bahwa pilihan childfree berpotensi mempercepat kebutuhan akan tenaga kerja serta menuntut penyesuaian di sektor jaminan sosial dan kesehatan.
Perspektif Global
Tren childfree bukan hanya fenomena lokal. Di Amerika Serikat, Pew Research (2021) menunjukkan 44% orang usia 18–49 yang childfree tidak berniat punya anak, meningkat dari 37% pada 2018. Di Kanada, General Social Survey (2001) menemukan 7% responden usia 20–34 menyatakan tidak ingin anak. Demikian pula di Eropa dan Asia Timur (China, Hong Kong, Korea Selatan), arus urbanisasi dan pendidikan tinggi mendorong kenaikan jumlah keluarga childfree.
Perubahan Sosial yang Menyertai Tren
Fenomena ini muncul bersamaan dengan meningkatnya komunitas dan influencer childfree. Tagar #childfree mendapat ratusan ribu unggahan di media sosial. Ekspresi opini tersebut membentuk jejaring dukungan, sekaligus menimbulkan bacaan ulang terhadap aturan sosial dan agama tradisional. Studi dari Kompasiana menyoroti bahwa perempuan terdidik lebih banyak memilih childfree karena ingin mengalokasikan sumber daya pada kesejahteraan dan karier.