Parenting Toksik dalam Balutan Agama, Waspadai Kesalahan Pola Asuh yang Mengklaim Islami

Ilustrasi keluarga
Sumber :
  • Freepik

Lifestyle –Dalam mendidik anak, banyak orang tua berupaya menanamkan nilai-nilai agama, khususnya Islam, sebagai landasan moral dan spiritual. Namun, tidak jarang pola asuh yang mengatasnamakan agama justru berubah menjadi parenting toksik yang merugikan anak. Fenomena ini terjadi ketika nilai-nilai agama disalahgunakan untuk membenarkan kontrol berlebihan, hukuman keras, atau pengabaian kebutuhan emosional anak. 

Artikel ini bertujuan untuk mengedukasi para orang tua tentang ciri-ciri parenting toksik yang mengklaim Islami, dampaknya terhadap anak, serta cara menerapkan pola asuh yang selaras dengan esensi ajaran Islam yang penuh kasih sayang.

Apa Itu Parenting Toksik dalam Balutan Agama?

Parenting toksik merujuk pada pola asuh yang merusak perkembangan emosional, mental, dan spiritual anak. Dalam konteks agama, pola asuh ini sering kali menggunakan ajaran Islam sebagai dalih untuk menerapkan disiplin yang kaku atau bahkan opresif. Misalnya, seorang ibu mungkin melarang anaknya mengekspresikan emosi dengan alasan bahwa "menangis adalah tanda lemah iman," atau seorang ayah menghukum anak secara fisik sambil mengutip ayat-ayat Al-Qur'an secara selektif. 

Padahal, ajaran Islam menekankan kasih sayang (rahmah) sebagai inti pendidikan anak, sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah SAW yang selalu lembut terhadap anak-anak.

Contoh nyata dari parenting toksik ini adalah kisah seorang remaja yang mengalami trauma karena orang tuanya memaksakan hafalan Al-Qur'an dengan ancaman hukuman fisik. Alih-alih mencintai agama, anak tersebut justru merasa tertekan dan menjauh dari nilai-nilai Islam. Fenomena ini menunjukkan bahwa penggunaan agama yang keliru dalam mendidik dapat menghasilkan dampak negatif yang signifikan.

Ciri-Ciri Parenting Toksik yang Mengklaim Islami

Pola asuh toksik yang mengatasnamakan Islam memiliki beberapa ciri khas yang perlu diwaspadai. Pertama, penekanan berlebihan pada ketaatan tanpa ruang untuk dialog. Orang tua mungkin menuntut anak mematuhi perintah tanpa memahami alasannya, dengan dalih bahwa "ketaatan adalah akhlak mulia." 

Kedua, penggunaan ayat atau hadis secara selektif untuk mendisiplinkan anak, seperti mengutip ayat tentang hukuman tanpa mempertimbangkan konteksnya. 

Ketiga, mengabaikan kebutuhan emosional anak dengan alasan bahwa fokus utama adalah "mendidik akhlak." 

Keempat, melabeli ekspresi diri anak, seperti hobi atau minat, sebagai "dosa" atau "menyimpang dari ajaran agama." 

Kelima, membandingkan anak dengan orang lain dengan dalih memotivasi, misalnya, "Anak tetangga lebih rajin shalat, kamu kapan?"

Ciri-ciri ini sering kali tidak disadari oleh orang tua karena dianggap sebagai bentuk pendidikan agama yang benar. Namun, pendekatan ini justru dapat menimbulkan rasa takut, rendah diri, hingga kebencian terhadap agama pada anak.

Dampak Parenting Toksik pada Anak

Dampak pola asuh toksik sangat merugikan, baik dalam jangka pendek maupun panjang. Dalam jangka pendek, anak dapat mengalami rasa takut berlebihan, rendah diri, atau kebingungan identitas karena merasa tidak pernah cukup baik di mata orang tua. 

Dalam jangka panjang, anak berisiko mengalami trauma psikologis, gangguan kecemasan, atau bahkan memutuskan hubungan dengan agama karena menganggapnya sebagai sumber tekanan. 

Sebuah studi dalam jurnal Developmental Psychology (2020) menunjukkan bahwa pola asuh otoriter, termasuk yang menggunakan agama sebagai pembenaran, dapat meningkatkan risiko depresi dan perilaku antisosial pada anak.

Sebagai contoh, seorang anak yang terus-menerus dihukum karena tidak memenuhi ekspektasi agama orang tua mungkin merasa bahwa dirinya tidak berharga. Hal ini dapat menghambat perkembangan harga diri dan kemampuan bersosialisasi yang sehat.

Nilai Islami Sejati dalam Parenting

Ajaran Islam sejatinya menekankan kasih sayang dan kelembutan dalam mendidik anak. Rasulullah SAW dikenal sebagai sosok yang penuh kasih terhadap anak-anak, seperti ketika beliau menggendong cucunya, Hasan dan Husain, sambil berkhutbah.

Dalam hadis riwayat Bukhari, Rasulullah bersabda, "Barang siapa yang tidak menyayangi, maka ia tidak akan disayangi." Prinsip ini menegaskan bahwa pendidikan anak harus berlandaskan rahmah, bukan ketakutan.

Pola asuh Islami yang ideal menyeimbangkan antara disiplin dan kebebasan berekspresi sesuai usia anak. Orang tua perlu membuka ruang dialog, mendengarkan pandangan anak, dan menjelaskan nilai-nilai agama dengan cara yang mudah dipahami. Misalnya, alih-alih memaksa anak shalat dengan ancaman, orang tua dapat menjelaskan hikmah shalat dengan penuh kasih sayang dan memberikan contoh nyata melalui perilaku mereka sendiri.

Cara Menghindari Parenting Toksik Berbalut Agama

Untuk menghindari pola asuh toksik, orang tua perlu melakukan refleksi diri secara rutin. Pertanyaan seperti "Apakah tindakan saya mencerminkan kasih sayang Rasulullah?" dapat menjadi panduan. Konsultasi dengan ahli, seperti psikolog anak atau ulama yang memahami perkembangan anak, juga penting untuk memastikan pola asuh yang sehat. 

Mengikuti kelas parenting atau membaca literatur tentang pola asuh berbasis kasih sayang dapat membantu orang tua memahami kebutuhan anak sesuai tahap perkembangannya. Terakhir, membangun komunikasi terbuka dengan anak, di mana mereka merasa didengar tanpa takut dihakimi, adalah kunci untuk menciptakan hubungan yang harmonis.