Ternyata Bukan Cuma Kenangan, Luka Batin Masa Kecil Bisa Hantui Hidup Dewasa!
- Freepik
Lifestyle –Pernah merasa sulit percaya orang lain, mudah marah, atau merasa diri tidak cukup baik tanpa alasan yang jelas? Bisa jadi itu bukan sekadar sifat bawaan, melainkan jejak luka batin dari masa kecil. Luka batin sering disebut juga inner wound adalah trauma emosional yang terbentuk ketika kebutuhan dasar akan kasih sayang, perhatian, dan rasa aman tidak terpenuhi.
Banyak orang dewasa tidak menyadari bahwa pola pikir, emosi, dan hubungan yang mereka jalani saat ini masih dipengaruhi oleh pengalaman masa lalu. Membahas luka batin penting, karena menyembuhkannya berarti memberi kesempatan bagi diri kita untuk hidup lebih sehat secara emosional.
Dari Mana Luka Batin Masa Kecil Berasal?
Luka batin bisa muncul dalam berbagai bentuk pengalaman. Misalnya, anak yang sering diabaikan, tidak diajak bicara tentang perasaannya, atau bahkan menerima kritik berlebihan. Ada pula yang tumbuh dalam keluarga penuh konflik, kehilangan orang tua sejak dini, atau menghadapi kekerasan fisik maupun verbal.
Meskipun tidak selalu tampak dari luar, pengabaian emosional dapat meninggalkan luka yang dalam. Seorang anak yang tidak pernah mendapatkan validasi misalnya tidak pernah dipuji atau didengar keluhannya akan tumbuh merasa kurang berharga. Dampak ini seringkali baru terasa saat dewasa, ketika seseorang kesulitan memahami emosi atau membangun hubungan yang sehat.
Bagaimana Luka Itu Terbawa ke Dewasa?
1. Rasa percaya diri rendah
Orang dewasa dengan luka batin masa kecil cenderung merasa dirinya tidak cukup. Mereka sulit menerima pujian, sering membandingkan diri dengan orang lain, atau selalu merasa gagal meski sudah berusaha.
2. Emosi yang tidak stabil
Luka batin membuat regulasi emosi terganggu. Hal kecil bisa memicu ledakan amarah, atau sebaliknya, seseorang bisa terbiasa memendam emosi hingga berujung kecemasan kronis.
3. Hubungan interpersonal bermasalah
Banyak orang dengan luka batin mengalami pola hubungan tidak sehat, seperti takut ditinggalkan, cemburu berlebihan, atau justru menarik diri karena sulit percaya orang lain.
4. Perilaku kompensasi negatif
Perfeksionisme, people-pleasing (selalu ingin menyenangkan orang lain), atau kecenderungan bekerja terlalu keras sering menjadi mekanisme untuk menutupi luka emosional.
5. Dampak pada kesehatan mental dan fisik
Penelitian menunjukkan bahwa trauma masa kecil dapat meningkatkan risiko depresi, gangguan kecemasan, hingga masalah kesehatan fisik akibat stres berkepanjangan.
Menurut konselor kesehatan mental, Daniel Rinaldi, MHC yang dikutip Verywell Mind menyebut bahwa pengabaian emosional dianggap sebagai bentuk trauma, karena dapat memiliki efek jangka panjang yang mendalam terhadap kesejahteraan emosional dan psikologis seseorang.
Artinya, meskipun tidak ada luka fisik yang terlihat, pengabaian emosional bisa sama seriusnya dengan trauma lain. Anak yang tumbuh tanpa didengar atau diterima emosinya, bisa mengalami kesulitan besar memahami dan mengekspresikan diri di kemudian hari.
Konsep Adverse Childhood Experiences (ACEs) atau pengalaman negatif masa kecil, sudah lama diteliti. Semakin banyak jenis pengalaman buruk yang dialami anak, semakin besar risikonya mengalami masalah kesehatan mental maupun fisik saat dewasa.
Penelitian yang dirangkum Charlie Health menunjukkan bahwa trauma masa kecil dapat memengaruhi sistem saraf, kemampuan mengatur emosi, hingga kesehatan tubuh. Bahkan, trauma tersebut bisa mengubah cara otak merespons stres, sehingga seseorang lebih rentan mengalami kecemasan dan depresi.
Cara Menyembuhkan Luka Batin
Kabar baiknya, luka batin bisa disembuhkan, meski butuh proses panjang. Beberapa langkah yang bisa ditempuh:
- Menyadari dan mengakui luka
Penyembuhan dimulai dengan keberanian untuk mengakui bahwa ada bagian diri yang terluka. - Mencari bantuan profesional
Konseling dengan psikolog atau terapis dapat membantu memahami akar permasalahan dan menemukan cara mengatasinya. - Refleksi diri
Menulis jurnal, meditasi, atau membuat “surat untuk diri kecil” bisa membantu mengekspresikan perasaan yang lama terpendam. - Membangun self-compassion
Belajar menerima diri sendiri, berhenti menyalahkan diri, dan mulai memenuhi kebutuhan emosional yang dulu diabaikan. - Lingkungan pendukung
Mengelilingi diri dengan orang-orang yang sehat secara emosional, teman yang suportif, atau komunitas yang aman bisa mempercepat proses pemulihan.