6 Fase Pernikahan, Kenapa Fase ke-3 Jadi Ujian Terberat Hingga Banyak Pasangan Pilih Cerai?

Ilustrasi konflik pasangan
Sumber :
  • Freepik

Lifestyle –Cinta memang bikin dunia terasa indah. Perasaan berbunga-bunga, jantung berdebar setiap kali si dia mengirim pesan, sampai senyum-senyum sendiri saat mengingat obrolan terakhir. Tapi begitu cinta itu naik level ke pernikahan, cerita tidak berhenti di bahagia selamanya.

Justru, pernikahan berjalan dalam fase-fase yang penuh warna ada yang manis, ada yang bikin kaget, bahkan ada yang bikin hati goyah. Menurut pakar hubungan, perjalanan pernikahan bisa dibagi ke dalam enam fase besar.

Menariknya, sebagian besar pasangan justru berhenti di fase ke-3 karena dianggap terlalu berat. Padahal, kalau mampu melewatinya, ada cinta yang jauh lebih dalam menunggu di fase selanjutnya.

Lantas seperti apa fase-fase pernikahan yang harus dilalui pasangan suami-istri? Berikut ini rangkumannya seperti dilansir dari laman Times of India, Rabu 17 September 2025.

1. Fase Mimpi: Cinta Bersemi

Di awal, cinta terasa seperti dongeng. Candaan yang biasa jadi terasa lucu, kesalahan kecil terlihat manis, dan semua detail tentang pasangan terasa ajaib. Bayangan masa depan seolah sempurna, rumah impian, keluarga bahagia, momen yang indah. Hal-hal kecil dari pasangan bisa bikin jantung berdebar, bahkan kekurangan mereka pun terlihat menawan.

Inilah masa paling manis, segalanya tampak mudah, penuh kelembutan, kesabaran, dan romantisme. Seolah cinta saja sudah cukup untuk menopang pernikahan. Nyatanya, fase ini baru permulaan. Fase Mimpi bukanlah kepalsuan, tapi belum lengkap karena pernikahan sejati belum diuji oleh waktu dan cobaan.

2. Fase Penemuan: Bertemu Pasangan yang Sesungguhnya

Seiring berjalannya waktu, gemercik cinta mulai pudar. Topeng perlahan turun, sifat asli lebih jelas terlihat. Hal-hal yang dulu terasa manis bisa berubah jadi menyebalkan. Pasangan mulai saling mengenal luka, masa lalu, dan kelemahan masing-masing.

Di fase ini, gambaran pasangan ideal mulai berbenturan dengan kenyataan. Pertanyaannya bisakah kita menerima pasangan apa adanya, bukan seperti bayangan yang kita buat? Fase ini terasa rawan, tapi justru menjadi dasar keintiman sejati. Inilah momen saat keaslian muncul. Ketika topeng lepas, barulah cinta bisa tumbuh lebih nyata.

3. Fase Kekecewaan

Ini fase paling sulit dan paling banyak membuat pasangan menyerah. Di sinilah banyak orang mulai bertanya, “Apakah layak bertahan?” Perbedaan semakin terasa, mimpi berganti keraguan. Pertengkaran jadi lebih tajam, bahkan masalah kecil seperti urusan rumah, uang, atau mertua terasa besar.

Rasa kecewa muncul karena ekspektasi tidak sesuai kenyataan. Kehangatan cinta diuji oleh rutinitas dan tanggung jawab. Banyak pasangan berhenti di sini, mengira cinta sudah hilang atau memang tak pernah ada. Padahal, justru di fase ini cinta sedang diuji. Kalau bisa bertahan, badai akan reda dan membawa hubungan ke arah yang lebih dalam.

4. Fase Membangun Kembali

Bagi pasangan yang berhasil melewati kekecewaan, hubungan pernikahan masuk ke fase baru yang lebih dewasa. Di sini, bukan lagi soal mengubah pasangan, tapi bagaimana tumbuh bersama. Komunikasi mulai membaik, batasan sehat dibuat, dan rasa hormat semakin dalam.

Cinta bukan lagi sekadar perasaan berdebar, tapi menjadi pilihan sadar untuk saling menerima. Menjadi lebih mudah memaafkan pasangan, rasa syukur mengalahkan rasa kesal, dan kebaikan kecil kembali hadir. Pernikahan bergeser dari sekadar bertahan hidup menjadi bertumbuh bersama. Fase ini seperti musim semi setelah musim dingin panjang, ada pertumbuhan baru, awal segar, dan ikatan yang lebih kuat.

5. Fase Cinta yang Mendalam

Di tahap ini, kedua pasangan sudah melihat sisi terburuk satu sama lain dari saat sakit, stres, marah, atau takut. Tapi tetap memilih bersama. Dari sinilah cinta yang dalam lahir.

Ada ketenangan karena tak perlu berpura-pura. Ada gairah karena kepercayaan menciptakan kebebasan. Ada persahabatan karena badai sudah dilewati bersama. Cinta di fase ini lebih tenang tapi jauh lebih kaya daripada fase awal.

Di fase ini juga bukan lagi tentang gestur besar, melainkan menikmati kebersamaan meski sederhana seperti memasak bersama, duduk diam berdampingan, saling menguatkan saat sulit. Pernikahan jadi tempat aman, bukan lagi medan perang. Cinta mendalam terasa seperti pulang ke rumah setelah perjalanan panjang, hangat, aman, dan tak tergantikan.

6. Fase Keseimbangan

Fase terakhir ini jarang tercapai, tapi sangat indah. Pernikahan di sini menjadi warisan. Luka dan tantangan masa lalu berubah jadi tanda kebanggaan karena telah membentuk hubungan yang kuat.

Pasangan tak lagi melihat satu sama lain hanya sebagai suami-istri, tapi sebagai teman hidup. Hidup boleh melambat, anak-anak boleh tumbuh besar, tapi kebersamaan tetap kokoh. Kebahagiaan hadir dari hal sederhana minum teh pagi, jalan sore, tawa kecil, doa bersama.

Fase ini seperti musim panas, hangat, penuh, dan menenangkan. Kepuasan datang bukan dari kesempurnaan, tapi dari keyakinan bahwa cinta ini sudah terbukti melewati waktu. Sebuah pengingat lembut bahwa pernikahan bukan tentang menghindari badai, tapi tentang menggenggam tangan melewatinya bersama.