Benarkah PMS Bisa Merusak Hubungan? Ini Fakta Emosional yang Jarang Dibicarakan

Ilustrasi PMS bisa sebabkan keretakan rumah tangga
Sumber :
  • Freepik

Lifestyle –Setiap bulan, sebagian besar perempuan mengalami perubahan suasana hati yang sulit dijelaskan menjelang menstruasi. Kondisi ini dikenal sebagai Premenstrual Syndrome atau PMS. Bagi sebagian orang, PMS hanya terasa sebagai kram ringan atau sedikit kelelahan. Namun bagi sebagian lainnya, gejalanya bisa jauh lebih kompleks: marah tanpa sebab, menangis tiba-tiba, merasa tak berharga, hingga menarik diri dari pasangan. Tidak jarang, PMS menjadi pemicu ketegangan dalam hubungan, baik yang sudah lama terjalin maupun yang masih baru dimulai.

 

Pertanyaannya, apakah PMS memang bisa memengaruhi hubungan dengan pasangan? Atau, ini hanya alasan yang dibuat-buat saat emosi sedang tidak stabil? Banyak pasangan merasa frustrasi saat harus menghadapi perubahan emosi yang mendadak dari orang yang mereka cintai. Sementara di sisi lain, perempuan yang mengalaminya juga merasa bersalah karena tidak bisa mengendalikan dirinya sendiri. Artikel ini akan mengupas secara mendalam pengaruh PMS terhadap dinamika hubungan, berdasarkan fakta ilmiah dan pengalaman nyata, serta bagaimana cara menghadapinya dengan bijak.

 

Perubahan Hormon, Perubahan Emosi

PMS bukanlah mitos atau alasan untuk bersikap berlebihan. Ini adalah kondisi biologis nyata yang dipicu oleh fluktuasi hormon estrogen dan progesteron dalam tubuh perempuan. Sekitar satu hingga dua minggu sebelum menstruasi, kadar hormon-hormon ini mengalami perubahan drastis, dan memengaruhi zat kimia di otak—terutama serotonin, yang berperan dalam mengatur suasana hati.

 

Penurunan serotonin dapat menyebabkan perasaan sedih, cemas, mudah tersinggung, atau marah tanpa sebab yang jelas. Inilah alasan mengapa seorang perempuan bisa merasa sangat sensitif terhadap ucapan atau sikap pasangan, bahkan terhadap hal-hal kecil yang biasanya tidak mengganggu. Reaksi ini bukan karena mereka sengaja mencari masalah, melainkan karena tubuh dan pikirannya sedang berada dalam kondisi tidak seimbang.

 

Saat Emosi Menjadi Tembok Dalam Komunikasi

Salah satu dampak paling nyata dari PMS dalam hubungan adalah terganggunya komunikasi. Perempuan yang sedang mengalami PMS mungkin lebih cenderung menarik diri atau, sebaliknya, menjadi lebih reaktif. Sementara pasangan—terutama jika laki-laki—sering kali tidak memahami apa yang sebenarnya terjadi, sehingga merespons dengan defensif atau menghindar. Pola ini bisa menimbulkan salah paham yang berulang, yang jika tidak dikelola, dapat merusak kualitas hubungan secara perlahan.

 

Misalnya, komentar sederhana seperti "kamu terlalu sensitif" atau "jangan lebay" bisa terasa sangat menyakitkan bagi seseorang yang sedang dalam fase PMS. Kalimat-kalimat semacam ini, meskipun tidak bermaksud menyakiti, justru memperburuk kondisi emosional dan memperbesar jarak emosional antara pasangan.

 

Penting dipahami bahwa setiap perempuan mengalami PMS dengan cara yang berbeda. Beberapa hanya mengalami perubahan fisik seperti payudara nyeri atau perut kembung, sementara yang lain bisa merasa benar-benar kewalahan secara emosional. Ada pula yang mengalami PMDD (Premenstrual Dysphoric Disorder), bentuk PMS yang lebih parah dan dapat menimbulkan gangguan suasana hati yang serius seperti depresi atau kecemasan ekstrem.

 

Jika pasangan tidak memahami spektrum ini, bisa muncul prasangka bahwa “itu cuma drama bulanan.” Padahal, memahami bahwa PMS adalah kondisi yang kompleks dan tidak bisa disamaratakan, adalah langkah awal untuk membangun hubungan yang lebih empatik.

 

Dampak Jangka Panjang Jika Tidak Diatasi

Mungkin terlihat sepele jika hanya terjadi sebulan sekali, tetapi konflik yang berulang akibat PMS bisa menyisakan luka emosional dalam hubungan. Jika pasangan terus-menerus merasa seperti "kambing hitam" atau tidak dipahami, mereka bisa mulai merasa tidak aman secara emosional. Di sisi lain, perempuan juga bisa merasa bersalah dan kecewa pada diri sendiri karena tidak mampu mengendalikan perubahan mood-nya, yang bisa memicu siklus emosional negatif.

 

Dalam jangka panjang, hubungan bisa menjadi dingin, penuh jarak, atau bahkan mengarah pada perpisahan karena kurangnya pemahaman dan komunikasi sehat di masa-masa rentan seperti ini. Padahal, jika dikelola dengan baik, fase PMS justru bisa menjadi momen untuk mempererat kedekatan emosional dalam hubungan.

 

Solusi: Mengubah PMS dari Ancaman Menjadi Peluang

Langkah pertama adalah kesadaran dan edukasi. Perempuan perlu memahami siklus tubuhnya sendiri dan memberi ruang untuk merawat diri saat PMS datang. Begitu pula pasangan, penting untuk meluangkan waktu mempelajari apa itu PMS dan bagaimana gejalanya bisa bervariasi.

 

Komunikasi terbuka adalah kunci. Tidak ada salahnya memberi tahu pasangan bahwa kamu sedang dalam fase PMS dan mungkin akan lebih sensitif dalam beberapa hari ke depan. Dengan menyampaikan ini lebih awal, pasangan akan lebih siap dan tidak tersinggung jika suasana hati berubah mendadak. Ini bukan tentang membenarkan perilaku negatif, tapi menciptakan ruang yang aman untuk saling memahami.

 

Selain itu, pasangan juga bisa ikut membantu meredakan gejala PMS secara tidak langsung. Kehadiran yang penuh perhatian, sikap yang lembut, dan tidak buru-buru menghakimi, bisa menjadi bentuk dukungan emosional yang sangat berarti. Bahkan hal-hal kecil seperti menemani beristirahat, membuatkan teh hangat, atau membiarkan pasangan menangis tanpa banyak bertanya, bisa menjadi penyelamat suasana.

 

Jika PMS berdampak sangat besar pada hubungan dan kualitas hidup, tidak ada salahnya berkonsultasi ke profesional. Konselor pernikahan, terapis pasangan, atau dokter kandungan bisa membantu memberikan panduan yang tepat. Kadang, hanya dengan memahami apa yang sedang terjadi secara medis dan emosional, sebuah hubungan bisa diselamatkan dari salah paham yang tidak perlu.

 

Terapi pasangan juga bisa membantu menciptakan pola komunikasi yang sehat, terutama jika salah satu pihak merasa kesulitan memahami reaksi pasangannya. Menghadapi PMS bukan hanya tanggung jawab satu pihak—ini adalah tantangan bersama yang bisa dikelola dengan empati, pengertian, dan komitmen untuk terus belajar satu sama lain.

 

PMS memang bisa memengaruhi hubungan dengan pasangan, tetapi bukan berarti harus menjadi ancaman. Justru dari sinilah kita bisa belajar tentang pentingnya kepekaan, komunikasi, dan dukungan dalam hubungan yang sehat. Ketika keduanya mampu saling memahami bahwa perubahan emosi bukan tanda kelemahan, tetapi bentuk kebutuhan tubuh yang sedang meminta perhatian, maka hubungan bisa tumbuh lebih kuat.

 

Karena pada akhirnya, cinta bukan tentang segalanya berjalan lancar setiap saat—tetapi tentang bagaimana kita tetap bertahan, saling memahami, dan saling menjaga, bahkan di hari-hari yang paling sulit sekalipun.