Beda dengan Wanita, Studi Ungkap Pria Ajukan Gugatan Cerai Saat Istri Sakit

Ilustrasi cerai
Sumber :
  • Freepik

LifestylePerceraian di kalangan usia lanjut atau lansia kian meningkat dalam beberapa dekade terakhir. Meski banyak faktor bisa menjadi penyebabnya, sebuah studi terbaru mengungkap hal cukup mencengangkan yakni ketika istri mengalami sakit serius.

Istri sakit menjadi faktor terbesar yang berkontribusi tinggi terhadap angka perceraian di kalangan pasangan. Hal ini berbeda ketika suami jatuh sakit, angka perceraian justru tidak menunjukkan peningkatan berarti.

Mengapa hal ini bisa terjadi? Penjelasan yang muncul tidak hanya berkutat pada masalah kesehatan fisik, melainkan pada akar sosial yang berkaitan dengan peran gender tradisional dalam rumah tangga.

Baru-bari ini peneliti Italia menganalisis keterkaitan antara kondisi kesehatan dan tingkat perceraian pada orang dewasa berusia lanjut. Dalam penelitian yang dipublikasikan dalam Journal of Marriage and Family, menganalisis 25.542 pasangan heteroseksual dari 27 negara Eropa dengan rentang usia 50 hingga 64 tahun, yang diamati selama 18 tahun dari 2004 hingga 2022.

Hasil studi menunjukkan bahwa ketika istri mengalami sakit atau keterbatasan fisik, risiko perceraian meningkat secara signifikan. Sebaliknya, ketika suami sakit, tidak ada perubahan signifikan dalam risiko perceraian.

Dengan kata lain, perempuan cenderung bertahan dalam pernikahan meski suaminya sakit, namun perempuan tidak mendapatkan hal yang sama ketika mereka yang sakit.

Psikolog: Ini Soal Peran Gender yang Mengakar

Psikolog asal Amerika, Dr. Mark Travers, yang memperoleh gelarnya dari Universitas Cornell dan Universitas Colorado Boulder, menyampaikan bahwa hasil studi ini sangat masuk akal jika dilihat dari lensa norma gender tradisional yang dibentuk sejak dini.

Menurutnya, perempuan secara sosial telah diajarkan untuk mengelola urusan rumah tangga, merawat pasangan, dan memastikan semua berjalan mulus di rumah. Peran ini begitu kuat melekat dalam benak masyarakat. Sehingga ketika seorang istri tidak lagi bisa menjalankan fungsi tersebut karena sakit, hubungan pernikahan dianggap terganggu atau tidak lagi berjalan sebagaimana mestinya.

"Harapan mendalam bahwa seorang istri akan selalu memastikan rumah tangganya berjalan lancar sudah begitu mengakar, sampai-sampai setiap penyimpangan dari peran ini mungkin terasa seperti, atau dianggap sah, sebagai keretakan dalam ikatan pernikahan," kata dia dikutip dari Psychology Today.

Artinya, ketika istri sakit dan tidak lagi mampu ‘mengelola rumah’, sebagian suami merasa beban dan kehilangan arah dalam relasi. Sementara itu, istri yang suaminya sakit lebih cenderung bertahan dan mengambil alih peran caregiving.

‘Kontrak Pernikahan’ Tak Lagi Seimbang

Bagi Travers, ini adalah bentuk ketimpangan dalam kontrak sosial pernikahan, yang menempatkan beban rumah tangga secara tidak adil di pundak istri.

"Tentu saja, mengharapkan perempuan untuk memikul tugas-tugas ini sendirian sejak awal adalah hal yang kuno dan tidak realistis," tulisnya.

Namun kenyataannya, tanggung jawab ini jarang benar-benar dibagi secara merata, bahkan ketika istri sedang sakit. Inilah akar dari meningkatnya angka perceraian pada pasangan usia matang saat istri mengalami masalah kesehatan.

Fenomena ‘Perceraian Abu-Abu’ di Kalangan Lansia

Fenomena perceraian pada usia lanjut ini disebut sebagai “gray divorce” atau perceraian abu-abu, mengacu pada pasangan yang telah menikah lama dan bercerai di usia 50 tahun ke atas.

Menurut penelitian dari Bowling Green State University di Ohio, Amerika Serikat, angka perceraian pada usia lanjut meningkat tiga kali lipat dari tahun 1990 hingga 2022. Bahkan pada 2022, sekitar 15% dari seluruh penduduk AS yang berusia 65 tahun ke atas telah bercerai.

Data dari Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) menunjukkan bahwa dari tahun 2000 hingga 2022, 39% dari seluruh pernikahan di AS berakhir dengan perceraian. Dalam setiap 1.000 orang dewasa, rata-rata 6,2 menikah dan 2,4 bercerai.

Angka ini menunjukkan bahwa semakin banyak pasangan usia matang yang tidak segan mengakhiri pernikahan, terutama jika kualitas hidup dalam pernikahan dirasa sudah tidak sehat.

Umur Panjang Sama dengan Peluang Baru, Tapi Juga Tantangan Baru

Mengapa lansia kini lebih mudah memutuskan bercerai dibandingkan dulu? Asisten profesor ilmu pengembangan manusia dan keluarga di Purdue University, Indiana, Rosie Shrout, menjelaskan bahwa penyebab utamanya adalah harapan hidup yang lebih panjang.

"Beberapa kemungkinan penyebab perceraian di usia senja adalah karena usia harapan hidup kita yang lebih panjang. Orang-orang cenderung tidak tahan menanggung pernikahan yang tidak bahagia terlalu lama dan lebih optimistis akan menemukan pasangan lain," ujarnya.

Jadi, bukan hanya karena konflik dalam pernikahan, tapi juga karena kesadaran bahwa hidup masih panjang dan kesempatan menemukan kebahagiaan baru tetap terbuka. Orang dewasa kini tidak lagi memaknai usia 60-an sebagai akhir dari kehidupan sosial atau romantik.

Apa yang Bisa Kita Pelajari dari Studi Ini?

1. Kesehatan dan Relasi Tak Bisa Dipisahkan

Kesehatan pasangan, khususnya istri, ternyata memiliki dampak besar terhadap stabilitas pernikahan. Dukungan emosional dan fisik dari pasangan sangat dibutuhkan, terutama ketika salah satu sedang menghadapi penyakit.

2. Beban Caregiving Masih Belum Setara

Studi ini memperlihatkan bahwa perempuan masih menjadi tulang punggung emosional dan praktis dalam rumah tangga. Ketika peran ini terganggu, relasi jadi rentan, bukan karena penyakitnya, tapi karena ketidaksiapan suami mengambil alih peran.

3. Norma Gender Harus Dievaluasi Ulang

Masyarakat perlu menyadari dan mengubah peran gender yang timpang, terutama soal caregiving dan kerja rumah tangga. Dalam kondisi ideal, suami istri berbagi tanggung jawab termasuk ketika salah satu jatuh sakit.

4. Komunikasi dan Kesiapan Mental Itu Kunci

Perceraian bisa dicegah jika pasangan mempersiapkan relasi dengan mental yang sehat dan komunikasi yang jujur. Mengenali batas, meminta bantuan, dan saling mendukung menjadi pondasi penting agar pernikahan tetap utuh meski dalam masa sulit.