Kenapa Daster Jadi 'Seragam Nasional' Wanita di Rumah? Ini Kata Psikolog dan Sosiolog

Ilustrasi daster
Sumber :
  • Tokped @Batik Solo 98

Lifestyle – Coba bayangkan adegan ini akhir pekan, matahari menyengat, pekerjaan rumah belum selesai, dan kamu baru selesai masak. Apa yang kamu kenakan? Hampir bisa dipastikan jawabannya adalah daster. Motif bunga, longgar, adem, dan yang penting bisa bebas gerak.

 

Bagi banyak perempuan Indonesia, daster bukan cuma pakaian rumahan tapi juga sebagai identitas. Bahkan, ada yang bercanda bahwa daster itu 'seragam nasional' perempuan di rumah. Tapi, kenapa ya daster begitu melekat dengan kehidupan domestik perempuan, bahkan di era sekarang? Mari kita kupas dari sisi budaya, psikologis, dan tentu saja, kenyamanan yang tak tergantikan.

Tahukah kamu, daster sebenarnya punya akar sejarah panjang? Di era kolonial, para perempuan pribumi sudah mulai mengadaptasi pakaian longgar sebagai bentuk kenyamanan di iklim tropis. Seiring waktu, baju model 'kebaya rumah' itu bertransformasi jadi daster yang kita kenal sekarang yakni baju longgar, tanpa kancing rumit, dan biasanya berbahan katun atau rayon yang adem.

 

Menurut filsuf dan sosiolog ternama Indonesia, Prof. Karlina Supelli pakaian rumah seperti daster berkembang sebagai bentuk adaptasi perempuan terhadap beban ganda kerja domestik dan kenyamanan iklim.

"Pakaian itu bicara tentang fungsi dan simbol. Daster adalah simbol keterikatan perempuan dengan rumah, tapi juga bentuk resistensi terhadap repotnya standar sosial luar rumah," ujarnya.

 

Dengan kata lain, daster bukan sekadar pilihan praktis, tapi juga bagian dari sejarah budaya perempuan Indonesia.

 

Lalu, kenapa daster terasa begitu nyaman dikenakan? Jawabannya bukan cuma soal bahan dan bentuk, tapi juga soal emosi. Di luar rumah, perempuan sering kali dituntut tampil rapi, cantik, dan sesuai standar publik. Di rumah, daster jadi semacam simbol: saat daster dipakai, semua “topeng” bisa dilepas.

 

Psikolog Harvard, Dr. Susan David, dan penulis buku Emotional Agility, menyebutkan bahwa manusia secara alami mencari simbol kenyamanan untuk menandai batas antara dunia luar dan dunia dalam. Ketika seseorang mengenakan sesuatu yang menandai istirahat atau rumah, otak merespons dengan lebih relaks, jelasnya.

 

Daster, bagi perempuan, adalah sinyal untuk otak bahwa ini waktunya istirahat, atau setidaknya, berada di ruang pribadi. Tak heran, banyak perempuan langsung merasa lega setelah melepas baju kantor dan mengganti dengan daster kesayangan. Seperti ada beban yang ikut dilepaskan bersama resleting baju.

 

 

Simbol Kebebasan dan Kendali atas Diri Sendiri

 

Daster bukan cuma soal rasa nyaman, tapi juga tentang pilihan. Di dunia yang penuh tuntutan, daster memberi ruang kebebasan bagi perempuan untuk memilih tanpa ribet. Ingin masak, ngepel, Zoom meeting, atau rebahan? Daster bisa.

 

Faktanya, banyak perempuan WFH selama pandemi melaporkan bahwa mereka merasa lebih produktif saat memakai daster. Aneh? Tidak juga. Daster memberi mereka rasa bebas, dan ketika stres berkurang, produktivitas pun naik.

 

Daster juga bisa dilihat sebagai bentuk 'pengambilalihan kontrol', saat di luar rumah perempuan kerap tunduk pada ekspektasi sosial, di rumah, dengan daster, merekalah yang punya aturan. Ini bentuk empowerment yang tidak selalu disadari.

 

Sayangnya, daster juga sering distigma. Ada anggapan bahwa perempuan yang seharian pakai daster itu malas, tak merawat diri, atau tidak menarik. Ini pandangan yang sangat sempit. Menurut psikolog sosial Dr. Brené Brown, kita hidup di masyarakat yang sering kali mengukur nilai seseorang dari tampilan luar.

“Kita terjebak dalam budaya ‘harus selalu terlihat sempurna’, padahal manusia punya momen istirahat dan autentik,” ungkapnya dalam TED Talk populernya.

 

Perempuan dengan daster bukan berarti tidak peduli. Justru, itu bisa menjadi tanda bahwa mereka tahu prioritas, kenyamanan, efisiensi, dan kepraktisan saat menghadapi banyak peran di rumah mulai dari ibu, manajer keuangan, guru darurat, hingga koki keluarga.

 

Ruang Emosional di Balik Daster: Kisah yang Tak Terucap

 

Banyak perempuan punya daster favorit yang warnanya sudah pudar, motifnya kuno, tapi tetap dipakai karena... ya, nyaman dan penuh kenangan, itu karena daster menyimpan memori. Mungkin itu daster yang dibeli saat awal menikah, saat baru punya anak, atau daster warisan ibu. Pakaian ini bukan sekadar kain, tapi ruang emosional. Tempat di mana perempuan menangis diam-diam, tertawa kecil sendirian, atau sekadar menghela napas setelah hari yang panjang.

 

Psikolog keluarga dari Stanford, Dr. Laura Markham, menyebutkan bahwa baju rumah bisa jadi emotional anchor, sesuatu yang membuat kita merasa terhubung dengan diri kita yang paling asli. Dan daster sering kali memainkan peran itu untuk perempuan.

 

Daster tidak pernah sekadar pakaian. Ia adalah simbol: dari sejarah budaya, dari kebebasan memilih, dari ruang aman, sampai kenyamanan psikologis.  Daster  adalah pelindung emosi saat hari melelahkan, teman setia saat ingin rebahan, dan saksi bisu perjuangan para ibu, istri, dan perempuan pekerja di rumah.

 

Jadi, kalau kamu pernah merasa minder karena “cuma pakai daster”, sekarang kamu tahu daster justru bukti bahwa kamu tahu apa yang penting—kenyamanan, efisiensi, dan cinta pada diri sendiri dan hey, siapa bilang perempuan dengan daster tak bisa menaklukkan dunia? Mungkin dia justru sedang menaklukkan dunianya, dari dalam rumah yang penuh makna.