Survei: 54 Persen Gen Z Ingin Resign dari Kantor, Kenapa?
- Freepik
Lifestyle – Tren ketidakpuasan kerja di Amerika Serikat semakin memuncak, terutama di kalangan pekerja muda. Survei terbaru oleh agensi HireClix menunjukkan bahwa 38 persen karyawan secara keseluruhan berencana meninggalkan pekerjaan (resign) atau meningkat 32 persen dibandingkan tahun lalu.
Generasi Z (gen Z) menempati posisi paling tinggi dengan 54 persen menyatakan niat untuk mengundurkan diri dari perusahaan tempat bekerja saat ini. Angka ini melonjak drastis dibandingkan tahun 2024 sebanyak 30 persen.
Fenomena ini memunculkan kekhawatiran terkait retensi karyawan di AS sekaligus menandakan ada perubahan besar dalam pola pikir tenaga kerja muda. Mengutip dari Newsweek, berikut ulasan lengkap yang menguak keinginan gen Z resign dari pekerjaannya.
Alasan Pekerja Ingin Resign
Dalam survei yang melibatkan lebih dari 1.000 pekerja AS menunjukkan bahwa faktor paling utama adalah ketidakpuasan terhadap pekerjaan. Sebanyak 44 persen responden mengaku tidak lagi menikmati pekerjaan mereka, turun dari 60 persen tahun lalu.
Faktor lain seperti kenaikan gaji dan bonus yang minim meningkat dari 29 persen menjadi 36 persen. Work-life balance yang tidak seimbang juga makin menjadi perhatian naik dari 26 persen menjadi 32 persen dan kurangnya peluang pengembangan karier naik dari 29 persen menjadi 31 persen.
Gen Z dan kalangan Baby Boomer menekankan pentingnya kesenangan kerja dan hubungan dengan manajer. Sedangkan milenial dan generasi X lebih fokus pada gaji kompetitif, peluang pengembangan, serta work-life balance yang memadai.
Psikolog Paula Caligiuri menyoroti bahwa keinginan untuk meninggalkan pekerjaan bukan hanya masalah jangka pendek, tetapi juga akibat dari kontrak kerja lama yang kini dianggap usang. Menurutnya, loyalitas diberikan tanpa imbalan yang sepadan, pensiun yang hilang, dan tangga karier yang tidak lagi menjanjikan kenaikan signifikan.
Faktor Ekonomi dan Ketidakpastian Masa Depan
Selain ketidakpuasan internal, faktor ekonomi juga memperkuat keinginan untuk resign. Gaji yang tidak sebanding dengan inflasi dan ancaman otomatisasi akibat kecerdasan buatan membuat pekerja gen Z merasa mudah diganti dan tidak lagi terikat secara emosional dengan perusahaan.
Menurut Anthony Klotz, profesor perilaku organisasi di UCL, ketika pasar kerja lambat, pekerja disengaged cenderung menjadi reluctant stayers, yakni tetap di posisi mereka meski tidak puas karena tidak ada opsi pekerjaan yang menarik.
CEO HireClix, Neil Costa, menambahkan keterbatasan pekerjaan entry-level membuat generasi muda berhati-hati dalam meninggalkan posisinya. Sementara itu, banyak pekerja gen Z lebih realistis dan pragmatis di mana menilai pekerjaan sebagai sarana sementara, fokus pada side hustle, dan hanya berkomitmen jika pekerjaan tersebut memberi tujuan, ruang untuk berkembang, dan kehidupan yang seimbang.
Pesan untuk Perusahaan
Menurut HireClix, perhatian utama perusahaan harus tertuju pada isu-isu yang menjadi perhatian pekerja muda, seperti kesempatan berkembang, kesetaraan gaji, serta budaya organisasi yang mendukung. Meski begitu, keinginan untuk resign belum berujung pada eksodus massal, karena banyak karyawan yang tetap bertahan di posisi mereka, fenomena job hugging atau memeluk pekerjaan, yang mencerminkan kondisi pasar tenaga kerja yang rapuh.
Situasi tersebut menegaskan bahwa pasar kerja AS sedang menghadapi dilema serius antara keinginan resign tinggi, tetapi mobilitas karyawan rendah akibat ketidakpastian ekonomi. Perusahaan dituntut untuk menyesuaikan strategi retensi, fokus pada gaji yang kompetitif, peluang pengembangan karier, serta membangun budaya kerja yang mendukung.
Tanpa langkah konkret, gelombang disengagement ini bisa berdampak jangka panjang pada produktivitas dan stabilitas tenaga kerja, meski eksodus massal belum terlihat. Fenomena job hugging menjadi tanda peringatan bahwa loyalitas karyawan kini lebih bersifat transaksional daripada emosional, menuntut perusahaan beradaptasi cepat dengan perubahan mindset tenaga kerja modern.