Kenapa Tak Punya Uang Sekarang Terasa Lebih Menakutkan Dibanding Dulu? Ini Penjelasan Psikolog

Ilustrasi mengatur keuangan rumah tangga
Sumber :
  • Freepik

Lifestyle –Dulu, kehabisan uang mungkin hanya berarti harus makan mi instan sampai akhir bulan. Tapi sekarang, tidak punya uang bisa berarti tak bisa bayar listrik, tidak mampu beli obat, atau bahkan terancam kehilangan tempat tinggal.

Ketakutan ini bukan hanya milik satu-dua orang. Ini adalah kecemasan kolektif yang terasa nyata di tengah masyarakat kita hari ini.

Apa yang berubah? Mengapa rasa takut terhadap kondisi "tak punya uang" terasa lebih dalam dan mendesak dibanding masa lalu?

Untuk menjawab hal ini, kita mengutip penjelasan seorang financial psychologist asal Amerika Serikat yang juga profesor di Creighton University, Dr. Brad Klontz. Menurutnya, ketakutan finansial masa kini bukan hanya soal angka di rekening, tapi mencerminkan tekanan psikologis dan struktural yang semakin kompleks.

Dr. Klontz menjelaskan bahwa dalam kehidupan modern, uang bukan hanya alat tukar, tetapi juga menjadi simbol rasa aman.

“Di kehidupan yang modern ini kekurangan uang sama seperti kekurangan oksigen," kata dia.

Artinya, kehabisan uang kini bisa diartikan sebagai kehilangan akses terhadap kebutuhan paling dasar seperti tempat tinggal, makanan, pendidikan, kesehatan, bahkan koneksi sosial.

Berbeda dengan masa lalu, di mana hidup sederhana lebih bisa diterima dan gotong royong masih kuat, hari ini biaya hidup naik drastis dan tak sebanding dengan kenaikan gaji. Harga rumah meroket, biaya pendidikan membengkak, dan layanan kesehatan semakin tidak terjangkau.

Di sisi lain, pendapatan banyak orang justru stagnan, sementara tuntutan hidup meningkat. Tak heran bila sekarang, kehabisan uang bisa berarti kehilangan segalanya. Hal itulah yang membuat rasa takutnya begitu besar.

Media Sosial dan Ilusi Gaya Hidup Sukses

Bukan hanya tekanan ekonomi, media sosial juga memperburuk kecemasan finansial. Di era digital, kita setiap hari dibombardir oleh unggahan orang lain yang terlihat sukses liburan ke luar negeri, beli rumah, gonta-ganti gadget, semua tampak begitu mudah. Padahal realitanya belum tentu demikian.

Menurut Dr. Klontz, hal ini menciptakan fenomena yang ia sebut sebagai financial shame cycle. Kita merasa malu jika tidak mampu mengikuti gaya hidup orang lain, lalu memaksakan pengeluaran agar tetap terlihat ‘mampu’, yang akhirnya memperburuk kondisi keuangan dan menambah rasa takut miskin.

“Media sosial memicu ekspektasi yang tidak realistis dan berkontribusi pada kecemasan finansial,” tegasnya.

Dalam jangka panjang, tekanan ini bisa membuat seseorang merasa gagal, bukan karena tidak cukup pintar atau bekerja keras, tapi karena standar hidup yang tidak realistis dan terus dibandingkan secara publik.

Generasi Muda: Tekanan Lebih Berat, Bukan Lebih Boros

Salah satu kelompok yang paling merasakan ketakutan ini adalah generasi milenial dan Gen Z. Mereka tumbuh dalam kondisi ekonomi yang jauh lebih tidak stabil dibanding orang tua mereka.

Harga rumah meningkat jauh lebih cepat daripada kenaikan gaji, utang pendidikan menumpuk, dan banyak dari mereka bekerja di sektor informal atau ekonomi gig yang tidak menawarkan jaminan stabilitas.

Menurut Dr. Klontz, generasi muda bukan boros, tapi memang menghadapi tantangan yang lebih berat secara sistemik. Inilah yang membuat mereka lebih rentan mengalami financial hopelessness rasa putus asa karena merasa tidak akan pernah cukup, sekeras apa pun berusaha.

Kecemasan finansial ini kemudian berubah menjadi ketakutan konstan, dan bahkan bisa melumpuhkan seseorang secara psikologis maupun produktivitasnya.

Ketakutan Finansial Merusak Kesehatan Mental

Ketakutan terhadap keuangan tidak hanya berdampak pada dompet, tetapi juga kesehatan mental. Dr. Klontz menyebutkan bahwa financial anxiety atau kecemasan finansial adalah fenomena nyata yang kini banyak diteliti secara psikologis.

Gejalanya bisa berupa kecemasan berlebih, insomnia, overthinking tentang masa depan, dan rasa bersalah saat mengeluarkan uang even untuk kebutuhan dasar. Dalam banyak kasus, orang dengan kecemasan ini jadi mengambil keputusan keuangan yang buruk karena otaknya masuk ke mode "survival", bukan rasionalitas.

Ironisnya, rasa takut ini justru membuat mereka makin sulit keluar dari masalah keuangan, menciptakan siklus stres—kesalahan—penyesalan yang berulang.

Apa yang Bisa Dilakukan?

Menurut Dr. Klontz, langkah pertama untuk menghadapi rasa takut ini adalah mengakui bahwa perasaan itu valid.

"Kamu tidak kekurangan, kamu hanya berada di sistem yang salah," kata dia. 

Artinya, kita tidak bisa menyalahkan diri sendiri atas sistem ekonomi yang tidak adil atau standar sosial yang tidak realistis.

Beberapa langkah yang disarankan antara lain:

  1. Sadari dan ubah money script Anda—yakni keyakinan bawah sadar tentang uang yang terbentuk sejak kecil. Misalnya, jika Anda tumbuh dengan keyakinan bahwa uang itu selalu langka, Anda akan cenderung cemas meski punya cukup.

  2. Bangun keuangan pribadi yang memberi rasa kontrol, sekecil apa pun. Membuat anggaran sederhana, menyisihkan sedikit dana darurat, atau belajar soal literasi finansial adalah bentuk kekuatan.

  3. Lingkungan yang suportif sangat penting. Jauhi pergaulan yang memicu pembandingan dan dekati komunitas yang realistis dan saling mendukung secara mental maupun praktis.

Lebih dari sekadar atur uang dengan bijak, pendekatan psikologis terhadap keuangan kini menjadi krusial, karena rasa aman tidak hanya dibangun lewat angka, tapi juga lewat cara berpikir.